Mata Kepala berfungsi untuk melihat benda yang kongkrit. Mata Kepala itu dapat melihat karena tidak buta dan ada cahaya, sehingga dapat melihat benda-benda di sekitarnya dan tentunya dengan jarak pandang yang terbatas. Apabila mata kita tidak ada cahaya maka kita tidak bisa melihat apa-apa atau mata kita tidak berfungsi alias BUTA. kita mendapatkan cahaya itu apabila kita tidak barada di ruang yang gelap. Begitupun dengan mata hati yang ada dalam diri kita, atau yang disebut dengan MATA BATIN. Sebenarnya, mata batin kita pun dapat melihat, apabila ada cahaya dan bersih dari kotoran-kotoran (maksiat) yang dapat membuat mata batin kita buta dan tidak mendapat penyinaran.
Mata batin yang gelap itu karena terlalu banyak sampah-sampah duniawi yang menempel dan tidak pernah kita bersihkan, sehingga menjadi tebal dan menutupi dari sinar-sinar Ilahi. Karena mata batin kita gelap dan tidak mendapatkan penyinaran, maka kita tidak bisa melihat dan tidak bisa membedakan kebenaran dengan kebatilan. Segala perbuatan maksiat selalu kita terjang dan tidak merasa bahwa kita sudah terjerumus dalam jurang kegelapan itu. Kita selalu berperaduga bahwa kita masih menapak di rel kebenaran, padahal kalau di teliti lebih jauh lagi dan dikoreksi lebih dalam lagi, sesungguhnya kita sudah menyimpang jauh dari rel kebanaran dan akhirnya tersesat jauh dan lebih jauh.
Ketika kita tersadar bahwa mata batin kita sudah gelap dan tidak mendapatkan penyinaran, lalu kita berguru kepada seorang Syekh (Mursyid) yang membimbing kita dalam pencarian sebuah kebenaran, hendaknya kita mentaati Syekh tersebut jangan pernah membangkang, karena sang Guru lebih mengetahui apa yang pantas dan layak untuk muridnya, maka ketika kita diperintah oleh Guru kita, maka harus kita taati. Hal ini, dalam ajaran Sufi, seperti seorang mayit berada di tangan sang Lebe (Kalmayyit bayna yaday goosilihi). Diapakan saja harus nurut dan tidak boleh membantah.
Setelah melalui beberapa proses pendidikan dan pelatihan untuk belajar menjadi "orang bener" denga beberapa materi ujian yang diberikan oleh sang Guru, maka sedikit demi sedikit sampah-sampah duniawi dalam batinnya (hatinya) menjadi luntur dan menjadi bersih. Kemudian secercah sinar muncul dan menerangi ruang hatinya, namun tidak sekaligus, sedikit demi sedikit dan terasa perubahan dari sebelumnya. Akan tetapi, jangan terburu nafsu dulu, meski kegelapan dan kotoran hati kita semakin sirna dan hati semakin terang, kita harus tetap menjaga sinar itu agar tetap utuh dan tidak hilang disambar angin tornado dan angin taufan. mayoritas kita terlalu berpraduga dulu bahwa sinar hati kita itu sudah besar dan menyala membara, akhirnya kita sudah merasa cukup dan berhenti. Padahal dia masih dalam Proses, belum final. Api sinar hati kita masih berkelip-kelip belum manjadi besar dan menyala, maka hendaknya api kecil itu jangan dibawa keluar dulu, takut ada angin besar (berbagai ujian hidup dan fitnah) yang menerpa dan akhirnya matilah api itu. Tetapi, kalau menurut sang Guru bahwa api batin kita itu sudah besar, maka silahkan dibawa keluar (menjadi termasyhur dan tersohor) dan ketika datang angin besar menerpanya, bukannya menjadi mati bahkan membara semakin besar ibarat api pertamina. Maka jagalah api yang ada dalam diri kita itu.
Berbagai ragam kegelapan dan sampah-sampah yang menutupi mata batin kita. Anak, istri, Syahwat, harta, tahta dan wanita dan lain sebagainya yang SELAIN ALLAH (SIWA). Hampir semua orang terpedaya oleh dunia yang dikemas dengan materi. pengaruh materi dalam diri kita sangat besar sekali dan sebenarnya materi lah yang membuat hidup kita dan batin kita tidak pernah tenang. Sebagai contoh; orang tua lebih menghargai anak yang punya materi lebih banyak daripada anaknya yang sholeh dan berbakti dan tidak tapi tidak bermateri, Kiai yang mempunyai materi lebih banyak akan mendapat penghormatan yang besar dari masyarakat daripada seorang Kiai yang tidak punya materi, padahal dia seorang kita yang Jujur, benar dan sholeh yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk masyarakat dengan mengorbankan waktu, tenaga dan fikirannya untuk umat.
Marilah kita menjaga sinar-sinar itu jangan sampai padam hanya karena gara-gara seonggok DUNIA/MATERI yang tidak kekal, yang membutakan mata hati kita dari kebenaran yang haqiqi.
Ditulis oleh:K.H Abdul Syakur Yasin,M.A
Pengasuh Ponpes Cadang Pinggan Indramayu
Mata batin yang gelap itu karena terlalu banyak sampah-sampah duniawi yang menempel dan tidak pernah kita bersihkan, sehingga menjadi tebal dan menutupi dari sinar-sinar Ilahi. Karena mata batin kita gelap dan tidak mendapatkan penyinaran, maka kita tidak bisa melihat dan tidak bisa membedakan kebenaran dengan kebatilan. Segala perbuatan maksiat selalu kita terjang dan tidak merasa bahwa kita sudah terjerumus dalam jurang kegelapan itu. Kita selalu berperaduga bahwa kita masih menapak di rel kebenaran, padahal kalau di teliti lebih jauh lagi dan dikoreksi lebih dalam lagi, sesungguhnya kita sudah menyimpang jauh dari rel kebanaran dan akhirnya tersesat jauh dan lebih jauh.
Ketika kita tersadar bahwa mata batin kita sudah gelap dan tidak mendapatkan penyinaran, lalu kita berguru kepada seorang Syekh (Mursyid) yang membimbing kita dalam pencarian sebuah kebenaran, hendaknya kita mentaati Syekh tersebut jangan pernah membangkang, karena sang Guru lebih mengetahui apa yang pantas dan layak untuk muridnya, maka ketika kita diperintah oleh Guru kita, maka harus kita taati. Hal ini, dalam ajaran Sufi, seperti seorang mayit berada di tangan sang Lebe (Kalmayyit bayna yaday goosilihi). Diapakan saja harus nurut dan tidak boleh membantah.
Setelah melalui beberapa proses pendidikan dan pelatihan untuk belajar menjadi "orang bener" denga beberapa materi ujian yang diberikan oleh sang Guru, maka sedikit demi sedikit sampah-sampah duniawi dalam batinnya (hatinya) menjadi luntur dan menjadi bersih. Kemudian secercah sinar muncul dan menerangi ruang hatinya, namun tidak sekaligus, sedikit demi sedikit dan terasa perubahan dari sebelumnya. Akan tetapi, jangan terburu nafsu dulu, meski kegelapan dan kotoran hati kita semakin sirna dan hati semakin terang, kita harus tetap menjaga sinar itu agar tetap utuh dan tidak hilang disambar angin tornado dan angin taufan. mayoritas kita terlalu berpraduga dulu bahwa sinar hati kita itu sudah besar dan menyala membara, akhirnya kita sudah merasa cukup dan berhenti. Padahal dia masih dalam Proses, belum final. Api sinar hati kita masih berkelip-kelip belum manjadi besar dan menyala, maka hendaknya api kecil itu jangan dibawa keluar dulu, takut ada angin besar (berbagai ujian hidup dan fitnah) yang menerpa dan akhirnya matilah api itu. Tetapi, kalau menurut sang Guru bahwa api batin kita itu sudah besar, maka silahkan dibawa keluar (menjadi termasyhur dan tersohor) dan ketika datang angin besar menerpanya, bukannya menjadi mati bahkan membara semakin besar ibarat api pertamina. Maka jagalah api yang ada dalam diri kita itu.
Berbagai ragam kegelapan dan sampah-sampah yang menutupi mata batin kita. Anak, istri, Syahwat, harta, tahta dan wanita dan lain sebagainya yang SELAIN ALLAH (SIWA). Hampir semua orang terpedaya oleh dunia yang dikemas dengan materi. pengaruh materi dalam diri kita sangat besar sekali dan sebenarnya materi lah yang membuat hidup kita dan batin kita tidak pernah tenang. Sebagai contoh; orang tua lebih menghargai anak yang punya materi lebih banyak daripada anaknya yang sholeh dan berbakti dan tidak tapi tidak bermateri, Kiai yang mempunyai materi lebih banyak akan mendapat penghormatan yang besar dari masyarakat daripada seorang Kiai yang tidak punya materi, padahal dia seorang kita yang Jujur, benar dan sholeh yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk masyarakat dengan mengorbankan waktu, tenaga dan fikirannya untuk umat.
Marilah kita menjaga sinar-sinar itu jangan sampai padam hanya karena gara-gara seonggok DUNIA/MATERI yang tidak kekal, yang membutakan mata hati kita dari kebenaran yang haqiqi.
Ditulis oleh:K.H Abdul Syakur Yasin,M.A
Pengasuh Ponpes Cadang Pinggan Indramayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar