Izrail merupakan malaikat yang pasti akan mendatangi setiap manusia.
Menjelang ajal, malaikat maut ini akan melepaskan ruh dari jasad. Ia
memang ditugaskan Allah SWT sebagai pencabut nyawa. Bukan tanpa alasan,
malaikat yang dalam Al-Quran di sebut Malak al Mawt ini diberi amanah
tersebut. Ada serangkaian kisah, yang akhirnya membuat Izrail terpilih
menjadi malaikat pencabut nyawa.
Ini berawal ketika Allah SWT memerintahkan Izrail bersama malaikat
Jibril, Israfil, dan Mikail untuk mengambil tanah ke bumi dalam proses
penciptaan Adam AS. Dalam sebuah hadist mu’tabar yang dinukil dari Imam
Ja’far al-Shadiq disebutkan bahwa sebelum menciptakan Adam dari tanah,
Allah SWT terlebih memberi kabar terhadap bumi bahwa Dia akan mengambil
tanah di sana.
Retorika antara Amerika Serikat dan Korea Utara makin memanas dan
menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perang. Jika perang dengan
Korut benar-benar terjadi, maka dampaknya akan dirasakan seluruh dunia,
menimbulkan kekacauan luas dan korban yang besar.
Purnawirawan
Angkatan Udara Amerika Serikat, Brigadir Jenderal Rob Givens mengatakan
bahwa hanya ada satu cara untuk mengakhiri perang tersebut. "Dengan
kekalahan Korut -- namun berapa harganya," cetus Givens dalam wawancara
dengan media Los Angeles Times seperti dilansir kantor berita News.com.au, Selasa (26/9/2017).
Dikatakannya,
sekitar 20 ribu orang akan tewas setiap hari jika terjadi perang dengan
Korut. Angka itu bahkan sebelum senjata nuklir digunakan.
Dikatakannya,
pasukan AS dan Korea Selatan (Korsel) di zona demiliterisasi (DMZ) juga
bisa menjadi target serangan Korut, sementara jutaan warga Seoul,
Korsel pun bisa ikut terdampak perang.
Menurut pegiat perlucutan
nuklir PBB, John Hallam, prospek terjadinya perang tersebut kini semakin
besar. Selain Korut, Seoul juga bisa hancur total jika perang terjadi.
"Satu
kemungkinan, yang tingkat probabilitasnya saya nilai cukup tinggi,
adalah bahwa AS berhasil dalam serangan pertama yang membuat seluruh
kekuatan nuklir dan konvensional DPRK (singkatan nama resmi Korut) tak
bisa dioperasikan dalam waktu sangat singkat, katakanlah 24-48 jam,"
tuturnya.
"Yang lebih mungkin lagi adalah DPRK akan melakukan
bombardir masiv atas Seoul," katanya. "Dia (Korut) punya ribuan artileri
persis di perbatasan, dan jumlah korban untuk ini, saya lihat angkanya
akan berkisar mulai 100 ribu hingga sejuta. Bagaimanapun, meski tanpa
nuklir pun itu akan menghancurkan," imbuhnya.
Profesor Studi
Intelijen dan Keamanan Internasional, John Blaxland bahkan mengingatkan
bahwa krisis ini bisa berkembang cepat. Menurutnya, perang retorika
panas telah membuat konfrontasi militer semakin mungkin terjadi.
"Risiko perang kini terlihat lebih besar dari sebelumnya," katanya.
Seiring berkembangnya zaman, rasa nasionalisme kian memudar. Hal
ini dibuktikan dari berbagai sikap dalam memaknai berbagai hal penting
bagi Negara Indonesia. Contoh sederhana yang menggambarkan betapa
kecilnya rasa nasionalisme, diantaranya :
1. Pada saat upacara bendera, masih banyak rakyat yang tidak
memaknai arti dari upacara tersebut. Upacara merupakan wadah untuk
menghormati dan menghargai para pahlawan yang telah berjuang keras untuk
mengambil kemerdekaan dari tangan para penjajah. Para pemuda seakan
sibuk dengan pikirannya sendiri, tanpa mengikuti upacara dengan khidmad.
2. Pada peringatan hari-hari besar nasional, seperti Sumpah
Pemuda, hannya dimaknai sebagai serermonial dan hiburan saja tanpa
menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme dalam benak mereka.
3. Lebih tertariknya masyarakat terhadap produk impor
dibandingkan dengan produk buatan dalam negeri,lebih banyak mencampurkan
bahasa asing dengan bahasa Indonesia untuk meningkatkan gengsi, dan
lain-lain.
4. Kurangnya kesadaran masyarakat “hanya” untuk memasang
bendera di depan rumah, kantor atau pertokoan. Dan bagi yang tidak
mengibarkannya mereka punya berbagai macam alas an entah benderanya
sudah sobek atau tidak punya tiang bendera, malas , cuaca buruk, dan
lain-lain. Mereka mampu membeli sepeda motor baru, baju baru tiap tahun
yang harganya ratusan bahkan jutaan tapi mengapa untuk bendera merah
putih yang harganya tidak sampai ratusan saja mereka tidak sanggup?
Semua identitas bangsa Indonesia baik itu bendera merah putih, lagu
kebangsaan Indonesia Raya dan lain sebagainya hanyalah merupakan
simbol, symbol bahwa negara Indonesia masih berdiri tegak dan mampu
mensejajarkan dirinya dengan bangsa lain. Bagaimana kita bias bangga
menjadi bangsa ini jika kita malas dan malu memakai atribut bangsa
Indonesia ini.
Jika ditinjau dari sudut pandang, gejala ini mulai terlihat sejak
era reformasi karena pada masa orde baru, pemasangan bendera adalah
sesuatu yang bersifat wajib. Sejak era reformasi, animo masyarakat untuk
turut andil dalam memeriahkan Dirgahayu RI juga berkurang. Pada masa
sekarang ini sudah sulit ditemukan perlombaan-perlombaan 17-an. Padahal
pada masa orde baru, suasana 17-an telah dirasakan sejak awal Agustus.
Perlombaan 17-an merupakan kegiatan rutin setiap tahunnya dan sudah
menjadi budaya baru di negara ini. Melalui kegiatan ini dapat ditanamkan
nilai-nilai nasionalisme ke dalam diri generasi muda yang nantinya
menjadi penerus bangsa. Contoh, dalam permainan panjat pinang yang
paling sulit diraih adalah bendera dan harus melalui usaha keras untuk
mendapatkannya. Dari hal kecil tersebut terkandung nilai pembelajaran
yang sangat tinggi yaitu untuk merebut kemerdekaan, para pahlawan
berjuang mati-matian tanpa mengenal lelah dan tentunya disertai dengan
rasa keikhlasan hati. Terakhir, hal yang paling ironis adalah bangsa ini
pada kenyataannya kurang menghargai jasa-jasa para pahlawan yang masih
hidup hingga sekarang. Mereka yang dahulu telah mengorbankan segalanya
untuk kemerdekaan Indonesia justru mendapatkan imbalan berupa kehidupan
yang tidak layak disisa umur mereka. Padahal dapat dibayangkan apabila
dahulu para pahlawan tidak mau berjuang, pastinya Indonesia masih dalam
penjajahan bangsa asing.
Sebenarnya nasib kita masih lebih baik dan beruntung daripada para
pejuang dulu, kita hanya meneruskan perjuangan mereka tanpa harus
mengorbankan nyawa dan harta.Nasionalisme kita semakin luntur dan
akankah punah tergilas modernisasi dan individualis. Masih banyak bentuk
nasionalisme lain yang kita rasakan semakin memudar. Kurangnya
kecintaan kita terhadap produk dalam negeri dan merasa bangga kalau bisa
memakai produk dalam negeri. Kegilaan kita tripping keluar negeri
padahal negeri sendiri belum tentu dijelajahi. Kita belum tersadar betul
bahwa lambat laun sikap-sikap seperti itu akan semakin menjauhkan
kecintaan kita kepada negeri ini.
Rasa nasionalisme bangsa pada saat ini hanya muncul bila ada suatu
faktor pendorong, seperti kasus pengklaiman beberapa kebudayan dan
pulau-pulau kecil Indonesiaseperti Sipadan, Ligitan , serta Ambalat oleh
Malaysia beberapa waktu yang lalu. Namun rasa nasionalisme pun kembali
berkurang seiring dengan meredanya konflik tersebut.
Begitu juga masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya
terlihat betapa lunturnya nilai-nilai luhur bangsa ini yang tercermin
baik dalam orasinya, spanduk/poster yang dibentangkan maupun tingkah
laku yang tidak santun. Pernah terjadi pada suatu peristiwa demonstrasi,
mereka menginjak injak dan membakar gambar/foto presiden yang nota bene
sebagai lambang negara dan harus dihormati oleh seluruh anak bangsa.
Globalisasi juga membawa pengaruh negatif terhadap nilai-nilai nasionalisme, antara lain:
1. Hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena
banyaknya produk luar negeri (sepertiMc Donald, Coca Cola, Pizza
Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap
produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme
masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
2. Masyarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan
identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung
meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggaps ebagai kiblat.
3. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara
yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi
ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya
dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
4. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan
ketidakpedulian antarperilaku sesamawarga. Dengan adanya individualism
maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Masyarakat, khususnya generasi muda adalah penerus bangsa. Bangsa
akan menjadi maju bila para pemudanya memiliki sikap nasionalisme yang
tinggi. Namun dengan perkembangan zaman yang semakin maju, malah
menyebabkan memudarnya rasa nasionalisme. Nasionalisme sangat penting
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara karena merupakan wujud
kecintaan dan kehormatan terhadap bangsa sendiri. Dengan hal itu, pemuda
dapat melakukan sesuatu yang terbaik bagi bangsanya, menjaga keutuhan
persatuan bangsa, dan meningkatkan martabat bangsa dihadapan dunia.
Namun, dengan memudarnya rasa nasionalisme dapat mengancam dan
menghancurkan bangsa Indonesia. Hal itu terjadi karena ketahanan
nasional akan menjadi lemah dan dapat dengan mudah ditembus oleh pihak
luar. Bangsa Indonesia sudah dijajah sedari dulu sejak rasa nasionalisme
pemuda memudar. Bukan dijajah dalam bentuk fisik, namun dijajah secara
mental dan ideology.
Banyak sekali kebudayaan dan paham barat yang masuk ke dalam bangsa
Indonesia. Banyak budaya dan paham barat yang berpengaruh negatif dapat
dengan mudah masuk dan diterima oleh bangsa Indonesia. Dengan
terjadinya hal itu, maka akan terjadi akulturasi, bahkan menghilangnya
kebudayaan dan kepribadian bangsa yang seharusnya menjadi jati diri
bangsa.
Dalam aspek perekonomian Negara, dengan memudarnya rasa
nasionalisme, mengakibatkan perekonomian bangsa Indonesia jauh
tertinggal dari Negara-negara tetangga. Saat ini masyarakat hanya
memikirkan apa yang Negara berikan untuk mereka, bukan memikirkan apa
yang mereka dapat berikan pada Negara. Dengan keegoisan inilah,
masyarakat lebih menuntut hak daripada kewajibannya sebagai warga
Negara. Sikap individual yang lebih mementingkan diri sendiri dan hanya
memperkaya diri sendiri tanpa memberikan retribusi pada Negara,
mengakibatkan perekonomian Negara semakin lemah.
Hari Kebangkitan Nasional jatuh setiap tanggal 20 Mei setiap tahunnya.
Makna dari kebangkitan nasional itu sebenarnya adalah titik awal
bangkitnya rasa persatuan dan kesatuan setelah tempaan 350 tahun masa
penjajahan.
Pergerakan tersebut tentunya tidak terjadi begitu saja. Ada
pihak-pihak yang menjadi pelopor tergeraknya rasa persatuan dan kesatuan
untuk bangkit. Tokoh-tokoh berikut adalah pelopornya.
1. Sutomo
Dr. Sutomo | via: kolom-biografi.blogspot.com
Tokoh yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo ini memang
tokoh yang banyak berpengaruh pada perjuangan rakyat, khususnya rakyat
Surabaya. Masih ingatkah kamu pidatonya yang begitu menggebu-gebu untuk
membangkitkan semangat arek-arek Surabaya?
Saat itu di tahun 1945, Bung Tomo hendak membangkitkan rasa
persatuan guna mengusir NICA, peristiwa inilah yang menjadi asal muasal
peringatan hari Pahlawan pada 10 November.
2. Ir. Soekarno
Ir. Soekarno | via: warungasep.net
Salah satu Bapak Bangsa ini memang tidak perlu diragukan
lagi peranannya. Tokoh yang juga dikenal sebagai orator handal yang bisa
menggerakan emosi siapapun yang mendengarnya, ikut tergugah dan
memiliki satu visi misi terhadap esensi pidato yang disampaikan.
Tokoh proklamator Indonesia, pencetus pancasila, dan membina
hubungan internasional merupakan peranan Soekarno. Bahkan, Soekarno
yang menerapkan gerakan non-block kala itu berhasil bekerja sama dengan Uni Soviet -sekarang Rusia- dan namanya diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Rusia.
3. Dr. Cipto Mangunkusumo
Dr. Tjipto Mangunkusumo | via: sudarso.com
Salah satu tokoh "tiga serangkai", pendiri Indische Partij,
salah satu organisasi politik pertama yang rajin melontarkan kritik
terhadap pemerintahan. Sikap kiritsnya memang sudah tampak sejak
bersekolah di STOVIA. Banyak tulisan-tulisan dirinya yang memuat kritik
ketidakpuasan akan pemerintahan Belanda yang sedang berjalan saat itu.
Tulisan-tulisannya dimuat di De Locomotief, suratkabar
harian kolonial yang berkembang saat itu. Fokus tulisan darinya berada
di topik sistem pemerintahan, juga diskriminasi yang dilakukan terhadap
pribumi. Karena tulisannya tersebut, Cipto sering mendapat teguran dari
pemerintah. Bukan berhenti, beliau malah keluar dari dinas pemerintah
dan diharuskan membayar uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit
jumlahnya.
4. Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara | via: doodlefinder.org
Tokoh yang terkenal peranannya di dunia pendidikan. Bernama
asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, menjadi Ki Hajar Dewantara sejak
tahun 1922. Tidak hanya berperan dalam dunia pendidikan, Ki Hajar
Dewantara juga seorang politisi dan kolumnis. Juga tokoh "tiga
serangkai" pendiri Indische Partij.
Langkah terbesarnya dengan mendirikan Taman Siswa. Lembaga
yang membuka kesempatan bagi rakyat jelata untuk memperoleh pendidikan
yang layak. Seperti yang kita tahu, saat era kolonial tidak semua orang
pribumi bisa mengenyam pendidikan. Hanya anak-anak dari bangsawan dan
orang-orang berpengaruh yang diizinkan duduk di bangku sekolah.
5. dr. Douwes Dekker
dr. Douwes Dekker | via: npogeschiedenis.nl
Pria kelahiran Pasuruan ini pelengkap tokoh "tiga serangkai"
yang bersama mendirikan Indische Partij. Penulis kritik tentang
pemerintah, wartawan, serta aktivis politik menjadi hal-hal yang
mengidentikkan diri dengan tokoh yang memiliki nama lengkap dr. Ernest
François Eugène Douwes Dekker ini. Selain itu, beliaulah penggagas nama
Nusantara sebagai tanah Hindia Belanda yang merdeka.
Dari kelima tokoh Hari Kebangkitan Nasional yang telah
dijabarkan sebelumnya, kamu minimal bisa mengambil satu atau dua poin
mengenai makna dari kebangkitan nasional itu sendiri. Mereka berpikir
dengan begitu lugas saat situasi sulit, saat sudah mudah seperti
sekarang seharusnya pemikiran yang tercetus dapat lebih mungkin untuk
direalisasikan.
Yayasan Assaadah bekerja
sama dengan DPD FPI DKI Jakarta menggelar acara Silaturahmi dan Dialog
Lintas Agama di Yayasan Pendidikan Assaadah, Poltangan, Jakarta, Sabtu
(5/9).
Kegiatan yang mengambil tema “Membangun Peradaban Dialog
Antar Umat Beragama” ini dihadiri oleh sejumlah ulama, tokoh ormas dan
tokoh masyarakat. Nampak hadir pula beberapa perwakilan tokoh agama
Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu, serta dari perwakilan
FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) serta sejumlah aparat negara.
Selain itu, dari jajaran aparatur negara nampak hadir Kapolda DKI
Jakarta, Irjen Tito Karnavian, serta sejumlah Kapolres dan pejabat
lainnya.
Dan dalam rangka menjaga keharmonisan hubungan antar umat manusia apa
pun agamanya, menurut Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab (Imam Besar FPI),
maka Islam telah meletakkan tidak kurang dari 10 (sepuluh) PILAR
TOLERANSI, yaitu sebagai berikut :
1. Tidak boleh ada pencampur-adukkan agama Islam dengan agama apa pun.
2. Tidak boleh ada paksaan terhadap siapa pun untuk masuk ke dalam agama Islam.
3. Kewajiban DA'WAH dengan Hikmah dan Mau'izhoh Hasanah serta Dialog
dengan cara terbaik, tanpa melupakan kewajiban HISBAH dengan tegas dan
JIHAD dengan keras sesuai aturan Syariat Islam.
4. Tidak ada larangan berbuat baik dan bersikap adil kepada umat agama lain.
5. Tidak ada larangan bermu'amalah dalam urusan sosial ekonomi kemasyarakatan dengan orang di luar Islam.
6. Tidak ada larangan memanfaatkan tenaga non muslim untuk kemaslahatan umat Islam.
7. Kewajiban Penegakan Keadilan untuk semua umat manusia.
8. Larangan berbuat Zhalim terhadap Manusia mau pun Hewan dan Tumbuhan.
9.Larangan mencaci maki dan mencerca serta menghina dan menodai suatu
agama, termasuk mengganggu atau menghalangi ibadah suatu umat beragama.
10. Kewajiban Penegakan Akhlaq Karimah sekali pun dalam situasi perang melawan Kafir.
Siapa yang ingin menyimak lebih dalam tiap-tiap pilar di atas lengkap
dengan Dalil dan penjelasannya, silakan baca Buku penulis yang berjudul
"Wawasan Kebangsaan - Menuju NKRI Bersyariah" Bab Kesatu Pasal TOLERANSI
halaman 75 - 89 terbitan SUARA ISLAM.
Batasan Toleransi
Di samping kita perlu mengenal dan memahami 10 (sepuluh)
Pilar Toleransi, maka kita harus juga menyoroti Batasan Toleransi yang
tidak boleh dilanggar oleh setiap muslim, yaitu :
A. Jangan campur aduk Ibadah/Aqidah, antara lain :
1. Jangan sekali-kali mengatakan semua agama sama dan benar.
2. Jangan sekali-kali memuji atau membela kesesatan agama di luar Islam.
3. Jangan masuk ke rumah ibadah agama lain untuk ikut kegiatan keagamaannya.
4. Jangan ikut merayakan Hari Raya agama lain, walau pun hanya sekedar mengucapkan selamat.
5. Jangan gelar Doa Bersama dengan Kafir, sehingga muslim mengaminkan Doa Kafir kepada Tuhannya.
B. Jangan campur aduk Syariah/Hukum, antara lain:
1. Jangan melakukan perkawinan Islam dengan Kafir.
2. Jangan ada saling mewarisi antara Muslim dan Kafir.
3. Jangan jadikan Kafir sebagai Pemimpin bagi umat Islam di negeri-negeri muslim.
4. Jika bermu'amalah dengan Kafir, maka jangan sekali-kali terlibat
dengan Riba atau hal lain yang diharamkan dalam Syariat Islam.
5. Jangan sekali-kali membantu orang Kafir untuk menzholimi Muslim dengan alasan apa pun.
Dengan demikian, Toleransi dalam ajaran Islam ada batasan yang tidak boleh dilanggar, sehingga tidak kebablasan. (fpi.or.id/habibrizieq.com)
Dalam sebuah tayangan video ada seorang nenek menyanyikan lagu dengan
ritme seperti lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dengan terbata-bata nenek
tersebut menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan logat bahasa Arab.
Nenek sepuh ini asyik bernyanyi hingga rampung.
Apakah memang
benar dulu sudah berkembang lagu Indonesia Raya versi Arab? Menurut
budayawan Agus Sunyoto hal itu memang benar adanya. Di banyak pesantren
lagu tersebut banyak diajarkan, dalam rangka menumbuhkan semangat
kebangsaan menuju kemerdekaan. “Dalam cacatan disebutkan bahwa di
sekolah Arabic Lager School 1936-1942 diam-diam mengajarkan lagu
Indonesia raya dalam bahasa Arab. Pemerintah Belanda tidak lagi ketat
untuk mengawasi sekolah mengingat mereka dalam ancaman Jepang,” kata
Agus yang juga Ketua Lembaga Kebudayaan NU (Lesbumi) ini.
Seekor cumi-cumi raksasa dengan panjang sekitar 15 meter dan lebar
6-7 meter ditemukan warga di Pulau Seram. Berdasarkan keterangan
tertulis yang diterima, cumi-cumi yang sudah mati
itu pertama kali ditemukan warga bernama Asrul Tuanakota pada Selasa
(9/5) malam.
Cumi-cumi raksasa itu ditemukan di Pantai Hulung Desa Iha, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
Warga di pesisir pantai Desa Iha, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, dihebohkan dengan penemuan cumi-cumi raksasa yang mati terdampar.
Dalam keterangan Kodam XVI/Pattimura, hewan laut itu pertama kali ditemukan pada Selasa (9/5) pukul 21.00 WIT.
Warga bernama Asrul Tuanakota (37), karena suasana gelap, pertama kali mengira ada perahu yang bersandar.
Namun karena merasa penasaran, keesokan hari, tepatnya pagi tadi pukul 09.00 WIT, dia mengecek lokasi. Asrul melihat makhluk laut, seperti cumi, yang berukuran raksasa. Temuan itu lalu dia beritahukan kepada warga setempat.
Belum diketahui pasti penyebab cumi-cumi raksasa berukuran 15 meter dengan berat sekitar 35 ton itu terdampar di pesisir pantai. Diduga cumi-cumi itu sudah 3 hari mati sebelum ditemukan oleh warga.
Kejadian cumi-cumi raksasa yang terdampar ini mengingatkan pada gurita raksasa yang juga pernah terdampar di Maluku.
Pada bulan Juni 2015 lalu di pesisir Pulau Hatta, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, seekor gurita raksasa ditemukan mati terdampar.
Awalnya warga sekitar mengira hewan yang terdampar adalah anjing laut yang berukuran besar. Namun setelah di periksa lebih dekat, hewan tersebut lebih mirip dengan gurita karena memilki lengan-lengan panjang.
Bau bangkai yang menyengat membuat warga segera memindahkan bangkai tersebut ke lokasi yang jauh dari pemukiman.
REPUBLIKA.CO.ID, 100
hari pemerintahan Presiden Donald Trump akhir April 2017 lalu
meninggalkan kesan campur aduk bagi warga Amerika Serikat sendiri,
maupun bagi masyarakat dunia. Dalam lebih tiga bulan pemerintahannya,
Trump mendatangkan banyak tanda tanya terkait terutama dengan
inkonsistensi kebijakan dalam dan luar negeri.
Bagi para pendukungnya, populisme politik, kebijakan Trump yang
menekankankan prinsip ‘America First’, pertama-tama Amerika, sejumlah
kebijakan cukup menjanjikan. Sedangkan bagi para penentangnya,
langkah-langkah Presiden Trump dianggap tidak bakal mampu membangkitkan
kembali kebesaran negara ini di tengah percaturan politik dan ekonomi
dunia.
Di tengah pergumulan optimisme atau pesimisme masing-masing pihak
tersebut, yang jelas jumlah demonstrasi anti-Trump yang pernah melanda
banyak kota AS di awal pemerintahannya, kini terlihat telah menyurut.
Selain itu, asumsi bahwa Presiden Trump tidak bakal mampu bertahan
lama dalam jabatannya kini terlihat kian tidak relevan. Selama tidak
melakukan kekeliruan fatal seperti pelanggaran konstitusi,
pengkhianatan, tindakan penyogokan dan kriminal berat lain, Presiden
Trump akan tetap bertahan—tidak bisa dimakzulkan.
Bahkan Trump nampaknya tidak hanya bertahan, tapi juga telah
menyiapkan diri untuk maju dalam masa jabatan kedua nanti. Untuk itu,
tim suksesnya sudah mulai menggalang dana.
Berada di New York sepanjang pertengahan bulan lalu (16-22/4/17),
penulis Resonansi ini menyaksikan dan merasakan kehidupan telah kembali
normal setelah kegaduhan politik yang panjang. Tidak terlihat demontrasi
atau aksi massa anti-Trump. Hanya saja jalan ke arah Trump Tower dijaga
kian ketat untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diharapkan.
Sejauh menyangkut Islam dan Muslim, Trump sejak masa kampanye
berulangkali misalnya menyatakan tentang bahaya ‘terorisme radikal
Islam’. Dia berjanji mencabut bahaya ini ‘sampai ke akar-akar’ (uprooted).
Tapi dalam kesempatan lain, Trump berbicara lebih hati-hati. Dia
membedakan antara 1,6 miliar Muslim yang mengikuti ajaran Islam secara
damai dengan ‘sekelompok orang [Muslim] yang berbahaya”. Di masa
kampanye, Trump juga pernah menyatakan “Saya pikir Islam membenci kita”.
President Trump lebih dari itu; dia orang yang sulit diduga. Tak lama
dilantik sebagai presiden dia segera mengeluarkan ‘Kepres’ (executive order)
yang melarang masuknya pendatang dari tujuh negara berpenduduk
mayoritas Muslim dan juga menghentikan penerimaan pengungsi dari Syria.
Memang secara kasat mata tak nampak di depan masyarakat New York
peningkatan Islamo-fobia. Beberapa Muslim New York kepada penulis
Resonansi ini juga menyatakan mereka tidak melihat peningkatan
Islamofobia sejak kemunculan Trump. Gejala ini kelihatan berkaitan
dengan kenyataan New York sebagai kota multikultural dan kosmopolitan.
Tetapi pada segi lain, untuk tingkat nasional Amerika sejak Trump
memegang kekuasaan, menurut Council on American Muslim Relations (CAIR)
insiden Islamofobik di pintu masuk AS meningkat sampai sekitar 1.000
persen (The Independent, 25/4/17). Peningkatan ini terkait
khususnya dengan pegawai Dinas Cukai dan Perlindungan
Perbatasan—termasuk petugas imigrasi di bandara. Peningkatan ini
memperlihatkan korelasi antara Kepres Presiden Trump tentang pelarangan
masuk pendatang dari tujuh negara berpenduduk Muslim.
Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terkecualikan
dari kebijakan imigrasi Presiden Trump. Meski pernah mengalami sejumlah
aksi radikalisme dan terorisme, Indonesia tetap dipandang pemerintahan
Trump sebagai negara damai dengan penduduk Muslim-nya yang umumnya juga
cinta damai.
Dalam kaitan itu, dalam pembicaraan penulis dengan kalangan akademisi
di kampus universitas dan lembaga riset di kawasan New York dan
sekitarnya terungkap bahwa Indonesia bagi mereka tetap menjadi sebuah
model kerukunan agama dan pluralisme demokrasi. Dalam konteks
perbandingan, Indonesia masih tetap menjadi salah satu—jika tidak
satu-satunya—negara berpenduduk mayoritas Muslim di mana Islam
kompatibel dengan demokrasi.
Tak hanya itu. Indonesia dengan keragaman agama, etnis, budaya dan
bahasanya, menjadi model di mana hubungan intra- dan antar-agama
terwujud harmonis. Di sini peran umat Islam yang mengikuti dan
menjalankan paradigma Islam wasathiyah menjadi sangat krusial. Berkat
Muslim Indonesia wasathiyah yang inklusif dan akomodatif dapat terwujud
Indonesia merdeka yang bersatu.
Meski demikian, mereka juga mempertanyakan apa yang sesungguhnya
terjadi dalam kasus Pilgub DKI, di mana Ahok yang ‘double minority’
(Kristen dan keturunan Tionghoa) kalah dalam Putaran Kedua. Mereka
melihat kekalahan Ahok terkait dengan mobilisasi sentimen Islam melalui
penggunaan simbol dan ajaran Islam tertentu.
Karena itu, mereka melihat kasus ini sebagai ‘ujian’ bagi demokrasi
Indonesia. Apakah perjalanan demokrasi Indonesia selanjutnya, seperti
Pileg dan Pilpres 2019 juga bakal ditentukan sentimen dan mobilisasi
simbolisme agama. Pertanyaan tak mudah dan terlalu awal untuk bisa
dijawab agak akurat.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
tersinggung dengan cap makar yang disematkan pada aksi Bela Islam.
Menurut Gatot, upaya makar dalam aksi Bela Islam adalah berita bohong
alias hoax.
Gatot Nurmantyo meyakini upaya makar tidak akan mungkin dilakukan
kelompok Islam untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Jokowi. Faktanya,
aksi Bela Islam yang telah berulangkali dilakukan selalu berjalan aman
dan tertib.
“Kudeta Presiden Jokowi. Saya agak tersinggung kata-kata seperti itu,
karena saya sebagai umat Islam juga,” ujar Gatot dalam talkshow “Rosi”
di Kompas TV, Kamis malam (4/5/2017).
Gatot lantas menceritakan sejarah organisasi terbesar di Indonesia
Islam, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Menurut Gatot, dua
organisasi Islam itu merupakan motor bersama rakyat dari kelompok agama
lain dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
Dikatakan Gatot, di saat para ulama menggalang kekuatan bersama
berbagai lapisan masyarakat, TNI belum ada. Perjuangan para ulama dan
rakyat kala itu merupakan keinginan dan naluri pejuang rakyat Indonesia.
Mereka lah yang berhasil membawa Indonesia menjadi negara yang merdeka
meski hanya bermodalkan bambu runcing.
“Apakah sejak perjuangan itu, yang mayoritas dilakukan umat Islam,
lalu dipertahankan umat Islam dan kemudian umat Islam yang merusaknya?
Tidak mungkin. Buktinya aksi 411, 212, aman, damai, dan tertib,” tegas
Gatot Nurmantyo.
Atas dasar itulah, Gatot meminta agar aksi Bela Islam tidak dikaitkan
dengan upaya makar. Gatot juga berpesan agar aksi unjuk rasa yang
dilakukan masyarakat tidak dicurigai sebagai aksi yang ingin
menggulingkan pemerintahan yang sah.
“Kalau ada demo, jangan dianggap makar. Pasti demo akan dilakukan
dengan kedewasaan masyarakat salurkan aspirasinya, dan itu sah-sah
saja,” tandas Gatot.
Oleh: Moh Mahfud MD*
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
KETIKA awal pekan lalu (25/4/2017), melalui program talkshow di sebuah
televisi berita, saya mengatakan bahwa pengikut Habib Rizieq tidak
banyak, muncullah banyak tanggapan melalui media sosial. Meski banyak
yang menanggapi positif dan menyatakan sependapat, ada juga yang tidak
sependapat dengan pernyataan saya itu.
Yang tidak setuju dengan pendapat saya mengatakan, ratusan ribu bahkan
jutaan orang yang datang mengikuti aksi damai di Jakarta pada Aksi Damai
411 dan 212 adalah fakta bahwa pengikut Habib Rizieq sangat banyak.
Tapi bagi saya sendiri jutaan orang yang ikut Aksi 411 dan 212 bukanlah
pengikut Habib Rizieq, melainkan orang-orang yang “menumpang” untuk ikut
melakukan protes. Bahkan saya meyakini, pada umumnya pengikut kedua
aksi itu adalah warga NU dan Muhammadiyah.
Bagi saya, tidak mungkin massa sebanyak itu bisa terkumpul jika bukan
dari warga Muhammadiyah dan NU. Saya kenal dengan begitu banyak orang NU
dan Muhammadiyah yang ikut aktif menggalang aksi itu, bahkan nama dan
foto-fotonya terpampang di media massa.
Ada yang menyanggah: bukankah PBNU dan PP Muhammadiyah sudah jelas
menyatakan tidak ikut ambil bagian dalam aksi-aksi itu? Saya pun
menanyakan juga kepada sebagian dari peserta aksi itu dan mereka
menjawab, meskipun dirinya orang NU atau Muhammadiyah, mereka ikut aksi
bukan sebagai warga Muhammadiyah atau NU.
Mereka ikut aksi itu dengan memakai baju sebagai anggota organisasi lain
seperti anggota majelis taklim, anggota kelompok arisan, anggota
keluarga alumni satu sekolah, pengurus-pengurus yayasan, bahkan sebagai
muslim perseorangan.
Bahkan saya juga mendapat banyak kiriman swafoto dari kolega-kolega,
bekas mahasiswa, keluarga, dan kenalan-kenalan saya yang bekerja di
kantor-kantor pemerintah maupun swasta dari seluruh Indonesia seperti
jaksa, hakim, dokter, dan artis yang diambil dari arena Aksi 411 dan
212. Mereka memakai baju koko atau hijab putih dan berswafotoria dengan
latar belakang Masjid Istiqlal dan Monumen Nasional (Monas).
Menurut saya mereka mengikuti aksi-aksi itu bukan karena mengikuti Habib
Rizieq, melainkan ikut menumpang untuk melakukan protes atas
ketidakadilan sosial dan lemahnya penegakan hukum yang terus terjadi
selama era Reformasi. Mereka terpaksa ikut menumpang karena, maaf,
organisasi resminya, NU dan Muhammadiyah, lebih banyak melakukan amar
makruf dan kurang melakukan nahi munkar.
PBNU dan PP Muhammadiyah, karena posisinya yang harus hati-hati, memang
lebih banyak menyampaikan amar makruf (memberi petuah dan
imbauan-imbauan untuk kebaikan) daripada melakukan nahi munkar
(mencegah, memprotes, dan bersikap tegas atas kemungkaran)
Nah, orang-orang yang mencari saluran untuk melakukan protes dan “nahi
munkar” itulah yang ikut kegiatan insidental (bukan sebagai peserta
tetap) aksi-aksi yang digalang Habib Rizieq. Ada yang mengatakan, ibarat
merawat tanaman, PBNU dan Muhammadiyah yang giat menyiram agar subur,
tetapi Habib Rizieq yang membasmi hamanya.
Jadi jika hanya melihat aksi Superdamai 411 dan 212 saya tidak melihat
adanya ancaman serius dari gerakan radikalisme atau intoleransi. Peserta
Aksi 411 dan 212 itu tidak bertujuan melawan ideologi negara Pancasila
dan NKRI dan bukan ingin memusuhi orang yang berbeda ikatan primordial,
melainkan hanya menumpang protes.
Setelah itu mereka pulang, kembali ke rumah NU dan Muhammadiyah
masing-masing dan tidak punya ikatan melembaga dengan Habib Rizieq,
apalagi dengan FPI.
Ini berbeda dengan pengumpulan massa dalam istigasah NU yang dirakit
dalam hubungan batin mendalam. Contohnya, tanpa ramai-ramai di medsos
atau publikasi yang hiruk-pikuk dan hanya melalui pesan dari mulut ke
mulut, istigasah NU Jawa Timur beberapa waktu yang lalu berhasil
menyedot ratusan ribu umat yang berdoa untuk bangsa dan NKRI dengan
tangis khusyuk.
Kalau begitu, apakah ada gerakan radikalisme dan intoleransi di
Indonesia? Jika itu yang ditanyakan, jawabannya “tentu ada”. Terutama
dalam primordialisme agama, pada agama apa pun, bibit-bibit radikalisme
pasti ada.
Mereka ingin membongkar secara radikal sistem yang sudah disepakati
sambil melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan intoleran. Namun jumlah
mereka ini sangat sedikit, hanya percikan kecil dari mainstream, dan
selalu mudah dideteksi serta diatasi karena bukan hanya ditangani aparat
negara, tetapi juga dilawan oleh rakyat.
Banyak orang yang (terjebak) ikut aksi insidental kaum radikal dan
intoleran karena kaum radikal dan intoleran yang sedikit itu menggunakan
isu ketidakadilan, kesenjangan sosial ekonomi, merajalelanya korupsi,
dan kemiskinan untuk melakukan aksi-aksi protes.
Kaum radikal dan intoleran sekarang ini sudah terdeteksi juga masuk ke
sekolah-sekolah untuk memengaruhi generasi muda, tetapi pintu masuk
rayuannya bukanlah ideologi, melainkan isu ketidakadilan dan kemiskinan.
Mereka yang ikut melakukan protes itu sebenarnya tidak radikal dan
tidak intoleran, pokoknya hanya menumpang protes.
Dengan demikian jika kita benar-benar ingin menyelamatkan NKRI yang
terbangun megah di atas fondasi Pancasila, kita harus menunjukkan kepada
rakyat bahwa kita benar-benar berusaha menegakkan keadilan, berusaha
membangun kesejahteraan rakyat sesuai dengan perintah konstitusi, dan
melakukan perang total terhadap korupsi. Itu saja yang harus dilakukan
jika tugas-tugas pemerintahan ingin agak ringan dan mendapat dukungan
rakyat.
Buktinya, setiap ada pengungkapan dan tindakan tegas terhadap koruptor,
rakyat serempak mendukungnya dengan menggelegar. Buktinya lagi, setiap
pemerintah membuat kebijakan prorakyat alias populis, rakyat gemuruh
menyambutnya dengan sukacita.
Bagi umat Islam sendiri, melalui telaah mendalam dan perjuangan panjang
yang kemudian menjadi produk ijtihad para ulama NU, Muhammadiyah, dan
ormas-ormas lain, NKRI yang berdasar Pancasila sudah final dan harus
dipertahankan berapa pun biayanya. Pancasila itu ibarat akta kelahiran
bagi Indonesia sehingga tidak bisa diganti selama kita ber-Indonesia.***
Terkait
tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kasus Penistaan Agama oleh
Ahok, tokoh reformasi, Prof D. Amin Rais angkat bicara dan
memperingatkan Presiden Jokowi untuk berhati-hati.
Usai meresmikan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Terpadu Aisyiyah
Bustanul Athfal, di Clolo, Kadipiro, Solo, Jawa Tengah, dia menilai jika
hakim memberikan putusan sama dengan jaksa, maka Presiden Jokowi akan
memanen protes keras rakyat Indonesia.
“Kalau sampai hakim memberikan hukuman seperti keputusan jaksa,
hukuman satu tahun dengan percobaan dua tahun (ini artinya bebas), saya
kira Jokowi akan memanen protes luar biasa masyarakat Indonesia. Jangan
pernah berharap jadi presiden lagi, sudah, itu keyakinan saya,” katanya,
Senin (24/4/2017).
Menurutnya, kekalahan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta menjadi bukti
kekalahan Jokowi. Jokowi yang membanggaka Taipan pemilik modal besar,
sehingga mudah meremehkan rakyat, kata Amin Rais justru akan memicu
kemarahan.
“Jadi kalau Jokowi cukup cerdas, harus tahu kekalahan Ahok di Pilkada
itu, kekalahan Jokowi juga. Kalau mau nekat hukuman diperingan, dia
(Jokowi) finish. Jangan meremehkan umat Islam lah, jadi Taipan, Cukong ndak ada gunanya. Sebab rakyat kita makin pandai, malah marah nanti,” ucapnya.
Dia berpesan pada Jokowi untuk tidak mencampuri keputusan hakim dalam memutuskan sidang perkara penistaan agama oleh Ahok.
“Kalau mereka main uang dan sembako, kita marah, rakyat akan marah.
Akan jadi bumerang, jadi pesan saya bung Jokowi, anda hati-hati, jangan
mencampuri keputusan hakim itu. Kalau anda mencampuri saya kira anda
juga akan finish. Saya tidak mendahului takdir Allah bahwa umat Islam sudah habis kesabarannya, pengalaman kemarin itu jelas sekali,” ujarnya.
Lebih lanjut, Amin Rais menegaskan hukuman bagi penista agama
sewajarnya adalah dengan tuntutan maksimal lima tahun penjara. Jika
penista agama bebas, dia yakin Jokowi akan lengser dan tidak akan pernah
menjadi Presiden lagi.
“Kalau Ahok penista agama dihukum ringan, saya kira Jokowi jangan berharap jadi Presiden lagi,” pungkasnya. [SY]