Jakarta - Keamanan siaga satu. Itu diucapkan Joko Suyanto, Menko Polhukam, setelah bom buku, bom Cirebon, bom Serpong, bom di Gereja Christ Cathedral muncul susul-menyusul. Benarkah bertebarannya bom-bom itu dilakukan orang-orang yang habis dicuci otaknya? Tidak adakah kemungkinan dilakukan pengikut sekte semacam Syech Siti Jenar?
Cuci otak. Cap itu selalu diberikan pada siapa saja yang terlihat linglung, bunuh diri atau melakukan perbuatan di luar nalar normal. Akibat cap itu, maka setiap kasus identik, termasuk Syarif yang meledakkan diri di Polres Kota Cirebon selalu menggantung. Dia dianggap bukan subyek tapi obyek.
Namun amati pesan yang tertuang dalam sampul buku milik Syarif. Pesan saya: 'Sungguh, kehidupan dunia itu hanya menipu'. Dalam pesan ini ada kesan yang dilakukan bukan hasil cuci otak. Dia punya kesadaran dan berkesadaran, bahwa yang dilakukannya adalah benar. Dan 'kebenaran' itu serta-merta menyeret kita pada paham Syech Siti Jenar.
Memang, kata-kata itu mengingatkan kita pada doktrin Syech Siti Jenar yang meyakini hidup ini adalah kematian, dan matilah jika ingin hidup mulia dan langgeng. Dalam salahsatu pupuh Serat Siti Jenar, 'Kawula-Gusti ada dalam diriku. Siang-malam tidak dapat dipisahkan. Kawula-Gusti menyatu saat mati. Kalau sudah hidup, Kawula-Gusti lenyap, tinggal kebahagiaan langgeng.
Dalam kematian banyak godaan. Godaan yang merangsang hawa nafsu. Itu semua akibat panca-indera. Jangan terbenam dalam kematian. Itu hanya impian. Syech Siti Jenar tidak tertarik dan tak sudi tersesat dalam kematian, berusaha kembali kepada kehidupan'. (Catatan penulis: baca hidup itu mati, dan sebaliknya).
Indikasi Jenarisme (paham Syech Siti Jenar) yang menstimulasi atau menginspirasi terorisme itu tak sulit diruntut. Babad Cerbon dengan gamblang mencatat sepak terjang sang wali yang juga disebut sebagai Syech Lemah Abang itu. Termasuk kematiannya yang semerbak mewangi dengan jasad menjadi sekuntum melati. Ini juga diperkuat dengan mitos sejarah keberadaan Wali Songo, sebuah organisasi dakwah yang diproklamasikan di Sumur Gumuling, Gunung Jati, yang kini dikenal sebagai pemakaman Syech Bayan dan Adipati Keling.
Kendati Jenarisme juga berkembang di Jawa Tengah (Muria, Klaten, Jenawi) dan Jawa Timur (Sedayu (Gresik), Tuban), tetapi pertumbuhan paham ini di Cirebon dan Majalengka lebih subur karena lambatnya daerah ini menyerap kemajuan. Itulah faktor Cirebon dan Majalengka reaktif. Terjadi shock culture. Mandiri dalam 'jihad'. Sendiri-sendiri dalam merealisasi keyakinan 'hidup mulia dan langgeng'.
Memang 'kesendirian' itu tidak aneh jika melirik kasus bunuh diri maupun teror yang berlatar ekonomi, sekte dan kepercayaan yang pernah terjadi di negeri ini. Malah di Jawa Tengah ada sebuah daerah yang menganggap bunuh diri sebagai solusi. Itu saking banyaknya 'kasus kendat' akibat persoalan 'sepele'. Kepepet kebutuhan hidup.
Dan untaian itu kian memanjang kalau sudah terbalut sektarian. Pemberontakan Ngaisah salah satunya. Teror Mbah Suro di antaranya. Perjuangan Diponegoro ala gerilya Jawa termasuk didalamnya. Selain yang paling terkenal, Syech Siti Jenar dengan sikap 'hidup dalam mati dan kematian dalam hidup'.
Para pengikutnya selalu mencari jalan menuju mati. Melakukan keonaran di pasar. Pura-pura merampok. Menggoda perempuan agar dihakimi. Semua itu dipakai sebagai sarana agar hidup cepat diakhiri.
Doktrin Syech Siti Jenar atau Syech Lemah Abang itu lekat tertancap di benak para santri. Ilmu kasampurnan (kesempurnaan) yang dalam pewayangan disebut sastra jendra hayuningrat pangruwat diyu yang amat ditabukan itu disadari mengundang petaka jika diamalkan. Tapi pengikut Syech Siti Jenar yang meyakini hidup adalah kematian, dan kalau ingin hidup langgeng penuh kemuliaan perlu mencari hidup sejatinya hidup (mati), maka mereka pun melakukan itu.
Murid-murid Syech Siti Jenar yang termotivasi itu dengan gagah menantang maut. Mereka rindu hidup bahagia setelah mati. Anak-anak muda itu mengalami inisiasi sama dengan sekte Ranting Daud yang rela bakar diri massal. Adakah bom bunuh diri itu sarana menuju binasa? Bukan dengan cara mati dianiaya?
Tapi mengapa semua yang terlibat dan melibatkan diri dalam aksi mencelakai diri itu kaum muda? Benarkah itu sebagai refleksi menemukan derajat hidup yang dicita-citakan seperti abstraksi Clifford Geertz? Jika pendidikan tinggi tidak bisa diraih karena ketiadaan harta, pekerjaan membanggakan tak mampu diwujudkan karena sulitnya lapangan kerja, maka spiritualitas sebagai simbol dari kemuliaan adalah satu-satunya langkah. Adakah 'jihad ala Syech Siti Jenar' itu konotasi spiritualitas itu?
Jika 'jihad' yang kini marak mengarah pada 'keterlibatan sekte', maka rasanya bom akan kian banyak bertebaran di berbagai daerah di Indonesia. Sebab 'calon pengantin' itu militan. Mereka meyakini lebih mulia 'jihad' daripada hidup tidak punya kemuliaan, tanpa pendidikan dan pekerjaan yang membanggakan.
Kalau pemerintah ingin 'mencuci otak' mereka, maka lakukan dengan memberi kemudahan pendidikan dan sediakan lapangan pekerjaan. Selain, tentu, jangan biarkan bubuk mesiu mudah didapat di pasaran.
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta.
(vit/vit)
Sumber : detik.com
Cuci otak. Cap itu selalu diberikan pada siapa saja yang terlihat linglung, bunuh diri atau melakukan perbuatan di luar nalar normal. Akibat cap itu, maka setiap kasus identik, termasuk Syarif yang meledakkan diri di Polres Kota Cirebon selalu menggantung. Dia dianggap bukan subyek tapi obyek.
Namun amati pesan yang tertuang dalam sampul buku milik Syarif. Pesan saya: 'Sungguh, kehidupan dunia itu hanya menipu'. Dalam pesan ini ada kesan yang dilakukan bukan hasil cuci otak. Dia punya kesadaran dan berkesadaran, bahwa yang dilakukannya adalah benar. Dan 'kebenaran' itu serta-merta menyeret kita pada paham Syech Siti Jenar.
Memang, kata-kata itu mengingatkan kita pada doktrin Syech Siti Jenar yang meyakini hidup ini adalah kematian, dan matilah jika ingin hidup mulia dan langgeng. Dalam salahsatu pupuh Serat Siti Jenar, 'Kawula-Gusti ada dalam diriku. Siang-malam tidak dapat dipisahkan. Kawula-Gusti menyatu saat mati. Kalau sudah hidup, Kawula-Gusti lenyap, tinggal kebahagiaan langgeng.
Dalam kematian banyak godaan. Godaan yang merangsang hawa nafsu. Itu semua akibat panca-indera. Jangan terbenam dalam kematian. Itu hanya impian. Syech Siti Jenar tidak tertarik dan tak sudi tersesat dalam kematian, berusaha kembali kepada kehidupan'. (Catatan penulis: baca hidup itu mati, dan sebaliknya).
Indikasi Jenarisme (paham Syech Siti Jenar) yang menstimulasi atau menginspirasi terorisme itu tak sulit diruntut. Babad Cerbon dengan gamblang mencatat sepak terjang sang wali yang juga disebut sebagai Syech Lemah Abang itu. Termasuk kematiannya yang semerbak mewangi dengan jasad menjadi sekuntum melati. Ini juga diperkuat dengan mitos sejarah keberadaan Wali Songo, sebuah organisasi dakwah yang diproklamasikan di Sumur Gumuling, Gunung Jati, yang kini dikenal sebagai pemakaman Syech Bayan dan Adipati Keling.
Kendati Jenarisme juga berkembang di Jawa Tengah (Muria, Klaten, Jenawi) dan Jawa Timur (Sedayu (Gresik), Tuban), tetapi pertumbuhan paham ini di Cirebon dan Majalengka lebih subur karena lambatnya daerah ini menyerap kemajuan. Itulah faktor Cirebon dan Majalengka reaktif. Terjadi shock culture. Mandiri dalam 'jihad'. Sendiri-sendiri dalam merealisasi keyakinan 'hidup mulia dan langgeng'.
Memang 'kesendirian' itu tidak aneh jika melirik kasus bunuh diri maupun teror yang berlatar ekonomi, sekte dan kepercayaan yang pernah terjadi di negeri ini. Malah di Jawa Tengah ada sebuah daerah yang menganggap bunuh diri sebagai solusi. Itu saking banyaknya 'kasus kendat' akibat persoalan 'sepele'. Kepepet kebutuhan hidup.
Dan untaian itu kian memanjang kalau sudah terbalut sektarian. Pemberontakan Ngaisah salah satunya. Teror Mbah Suro di antaranya. Perjuangan Diponegoro ala gerilya Jawa termasuk didalamnya. Selain yang paling terkenal, Syech Siti Jenar dengan sikap 'hidup dalam mati dan kematian dalam hidup'.
Para pengikutnya selalu mencari jalan menuju mati. Melakukan keonaran di pasar. Pura-pura merampok. Menggoda perempuan agar dihakimi. Semua itu dipakai sebagai sarana agar hidup cepat diakhiri.
Doktrin Syech Siti Jenar atau Syech Lemah Abang itu lekat tertancap di benak para santri. Ilmu kasampurnan (kesempurnaan) yang dalam pewayangan disebut sastra jendra hayuningrat pangruwat diyu yang amat ditabukan itu disadari mengundang petaka jika diamalkan. Tapi pengikut Syech Siti Jenar yang meyakini hidup adalah kematian, dan kalau ingin hidup langgeng penuh kemuliaan perlu mencari hidup sejatinya hidup (mati), maka mereka pun melakukan itu.
Murid-murid Syech Siti Jenar yang termotivasi itu dengan gagah menantang maut. Mereka rindu hidup bahagia setelah mati. Anak-anak muda itu mengalami inisiasi sama dengan sekte Ranting Daud yang rela bakar diri massal. Adakah bom bunuh diri itu sarana menuju binasa? Bukan dengan cara mati dianiaya?
Tapi mengapa semua yang terlibat dan melibatkan diri dalam aksi mencelakai diri itu kaum muda? Benarkah itu sebagai refleksi menemukan derajat hidup yang dicita-citakan seperti abstraksi Clifford Geertz? Jika pendidikan tinggi tidak bisa diraih karena ketiadaan harta, pekerjaan membanggakan tak mampu diwujudkan karena sulitnya lapangan kerja, maka spiritualitas sebagai simbol dari kemuliaan adalah satu-satunya langkah. Adakah 'jihad ala Syech Siti Jenar' itu konotasi spiritualitas itu?
Jika 'jihad' yang kini marak mengarah pada 'keterlibatan sekte', maka rasanya bom akan kian banyak bertebaran di berbagai daerah di Indonesia. Sebab 'calon pengantin' itu militan. Mereka meyakini lebih mulia 'jihad' daripada hidup tidak punya kemuliaan, tanpa pendidikan dan pekerjaan yang membanggakan.
Kalau pemerintah ingin 'mencuci otak' mereka, maka lakukan dengan memberi kemudahan pendidikan dan sediakan lapangan pekerjaan. Selain, tentu, jangan biarkan bubuk mesiu mudah didapat di pasaran.
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta.
(vit/vit)
Sumber : detik.com