Pendahuluan
Apakah benar sholat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ”Sembahyang”?. Kebanyakan orang tidak pernah memikirkan secara serius perbedaan dan kesamaan antara sholat dan sembahyang. Oleh karena dianggap paralel, sehingga sekali-kali mengatakan sholat dan terkadang mengucapkan sembahyang. Apalagi kalau sudah digabung dengan kata Maghrib, menjadi sembahyang Maghrib maksud-nya pasti sholat. Kata sholat dan sembahyang memang secara realitas digunakan secara seimbang oleh bangsa Indonesia, dua kata itu sinonim. Kemudian timbul kelompok lain yang menggugat bahwa sembahyang tidak berarti tepat untuk maksud sholat, karena konotasi kedua kata itu berlainan, sholat pada asalnya berarti berdo’a sedangkan sembahyang pada asalnya menyembah eyang. Sholat tidak diter-jemahkan sembahyang itulah keputusannya.
Alasan itu memang tidak dapat dibantah, karena arti yang sebenarnya Yang atau Eyang, yaitu dewa yang sejati yang disembah beberapa suku bangsa Indonesia yang beragama animisme. Orang Kristen dan orang Islam memakai kata itu, untuk menyembah Allah (Arabnya shalat) dan menyembah God pada orang Kristen.
Oleh karena sembahyang sudah diterima sebagai bahasa Indonesia yang artinya shalat, maka dapat dikonjugasikan seperti kata-kata yang lain. Menyembahyangkan mayat artinya sholat ghaib, bersembahyang artinya mendirikan sholat. Penulisannyapun berbeda, ada yang menulis ”Sholat” dan ada pula yang menulis ”Salat”. Menjadi kesulitan bagi kebanyakan bangsa Indonesia untuk mengucapkan Sholat dengan fasih, khususnya mengucapkan huruf ”SH” yang berasal dari Shod dalam huruf Arab.
Arti Sholat menurut bahasa
(صَلَوَ)
(صَلَى)Sholat secara bahasa banyak artinya apabila yang dimaksudkan kata yang berasal dari tiga huruf (Shod-Lam-Wawu) bukan dari kata yang berasal dari huruf-huruf (Shod-Lam-Ya) yang berarti terbakar atau masuk ke dalam api. Kedua kata ini berbeda sama sekali, walaupun bentuk tulisannya sama, yang pertama dari Sholaa
(صَلَّى)
(الصَّلى)
(يُصَلِّي).
(صَلَّى)asalnya Shalawa dari wazan (form) Fa’ala tetapi tidak dipakai, yang dipakai bentuk kata kerjanya setelah diberi sisipan yaitu dengan men-tasydidkan ‘ain fi’il menjadi shollaa dan Yushollii . Sedang yang kedua berasal dari form Fa’ila kata benda As-Shola artinya api atau bahan bakar.
(الصَّلاَة).
(تَصْلِيَّةْ)Kata Shollaa dalam proses konjugainya, semestinya bentuk infinitifnya (mashdar) yaitu tashliyyah tetapi ternyata tidak, yang di-pakai ialah Sholat. Maka oleh karena itu Sholat bukan infininitif shollaa, tetapi isim mashdar (Quasi-infinitive noun)
Kata sholat sebagai quasi infinitive noun yang ini mempunyai arti yang banyak sekali, antara lain berarti doa (bentuk jamaknya sholawat), juga dapat berarti rahmat, istighfar, berkah dan gereja.
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an kata Sholat dipakai dalam arti yang bermacam-macam. Ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat kata shalat adalah sebagai berikut :
Al-Qiyamah : 31/Al-A’la: 15/Al-‘Alaq: 10/At-Taubah: 84/An-Nisa: 102/Al-Ahzab: 56/-Al-Imran: 39/Al-Ahzab: 43/At-Taubah: 103/ Al-Kautsar: 2/Al-Ahzab: 56/Al-Baqarah: 3-43-45-83-11-153-177-238-277/An-Nisa: 43-77-101-10-2-103-142-162/Al-Maidah: 6-12-55-58-91-106/ Al-An’am: 72/Al-Anfal: 3/At-Taubah:5-11-18-54-71/Yunus: 87/Hud :114/-Ar-Ra’d:22/Ibrahim:31-37-4/Al-Is-raa: 78/-Maryam : 31-55-59 / Thoha: 14-132/ Al-Anbiya: 73/Al-Haj: 35-41-78/An-Nur : 37-56/An-Naml:3/Al-Ankabut:45/Ar-Rum: 31/- Luqman: 4-17/ Al-Ahzab: 33/Fathir: 18-29/As-Syuraa: 38/Al-Mujadalah: 13/Al Ju-mu’ah: 9-10/Al-Muzammil: 2/Al-Bayy-inah: 5/At-Taubah: 103/Hud: 87/Al-Iraa: 110/An-Nur: 41/Al-An’am: 92/Al-Anfal: 25/ Al-Mukminun: 2/Al-Ma’arij: 23-34/Al-Ma’un: 5/Al-An’am: 162/Al-Baqarah: 157-38/ At-Taubah: 99/ Al-Haj: 40/Al-Mukminun :9/Al-Ma’arij: 22/Al - Muddatstsir: 43/Al-Ma’un: 4/Al-Baqarah: 125.
Berbagai contoh penggunaan kata sholat dalam Al-Quran
1. Firman Allah : (At-Taubah: 84)
وَلاَتُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَّاتَ أَبَداً وَّلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ ، إِنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَماَتُواْ وَهُمْ فاَسِقُوْنَ .
Artinya: ”Dan janganlah sekali-kali engkau do’a-kan seseorang dari mereka yang telah mati, dan janganlah engkau berdiri di atas kuburannya. Karena sesungguhnya mereka itu tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya; dan mereka mati dalam keadaan durjana”.
2. Firman Allah : (Al-Ahzab: 56)
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَه‘ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ ياَاَيُّهاَ الَّذِيْنَ أمَنُواْ صَلُّواْ عَلَيْهِ وَسَلِّمُِواْ تَسْلِيْماً .
Artinya: ”Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bersholawat (Allah memberi rahmat/malaikat memintakan rahmat) atas Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah atasnya dan berilah salam dengan sesungguhnya”.
(Catatan: bersholawat kepada Nabi adalah kosa kata bahasa Indonesia yang biasa diucapkan ”solawat” mempunyai arti khusus).
3. Firman Allah : (Al-Baqarah: 3)
اَلَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْناَهُمْ يُنْفِقُوْنَ
Artinya: ”Yang percaya kepada perkara Ghaib, dan mendirikan sembahyang, dan mendermkan sebagian apa yang telah Kami karuniakan kepada mereka”.
4. Firman Allah : (Al-Baqarah: 157)
أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ .
Artinya: ”Mereka itu adalah orang-orang yang mendapat berkah dan rahmat dari Tuhan mereka. Merekalah orang-orang yang telah mendapat petunjuk”.
5. Firman Allah : (Al-Haj: 40)
وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوَاتٌ وَّمَساَجِدُ يُذْكَرُ فِيْهاَ اسْمُ اللهِ كَثِيْراً وَلَيَنْصُرنَّ اللهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ .
Artinya: ”Dan sekiranya Allah tidak melindungi manusia, sebagiannya atas sebagian yang lain, niscaya dirobohkan tempat-tempat pertapaan, sinagok-sinagok, gereja-gereja dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat dan Maha Perkasa”.
(صَلِيَ)(Catatan: Biya’ dapat dipakai untuk arti gereja atau sinagok).
(فِعِلْ ماَضِى=صَلَّى)
(يُصَلِّى الفَرَسُ)
(فِعِلْ مُضاَرِع=يُصَلِّى)Terkadang Sholiya ‘ain fi’ilnya ditasy-didkan menjadi Sholla Yusholli seperti yusholli Al - farosu mengikuti apa yang ada didepannya. Di beberapa ayat Al-Quran terdapat penulis-annya sama, tetapi bacaannya berbeda dan artinyapun benar-benar berbeda seperti dalam surat Al-Ghosyiyah: 4 :
تَصْلَى ناَراً حاَمِيَةً
Artinya: ”Akan terpanggang di api yang pana!”.
Melakukan/mendirikan/mengerjakan/melaksanakan/menunaikan Sholat.
Mengenai pelaksanaan sholat, dalam bahasa Indonesia mempunyai kebebasan ungkapan, melakukan sholat, menunaikan sholat, dan lain sebagainya. Tetapi yang paling jarang di ungkapkan orang ialah ”mendirikan sholat” dalam percakapan sehari-hari. Yang paling banyak dipakai dalam percakapan sehari-hari ialah ungkapan mengerjakan sembahyang. Padahal ungkapan dalam Al-Quran selalu dengan kata ”Aqoma” yang pada umumnya diterjemahkan dengan ”mendirikan”.
Ungkapan lain dalam Al-Quran untuk menerangkan orang-orang yang melakukan sembahyang atau yang meninggalkan selalu menggunakan isim fa’il “adjective”, seperti ”Alladziina hum ala sholaatihim khoosyi’uun”, ”Alladziina hum ala sholaatihim daa-imuun”,“Alladziina hum ala sholaatihim saahuun”. Adjektive tidak terikat dengan waktu, karena ia suatu sifat tetap yang tidak berubah-ubah, sedangkan verb (kata kerja) menunjukkan peristiwa yang berkaitan dengan waktu, berulang dan berproses. Artinya mereka yang melakukan sembahyang terus-menerus, tidak pernah ditinggal, berkesinambungan dan langgeng. Sedangkan bila diungkapkan dengan kata kerja, nantinya akan menunjukkan peristiwa yang berkaitan dengan waktu, sudah, akan atau sedang. Selanjutnya akan berpengertian kadang-kadang mengerjakan dan kadang-kadang tidak.
Tetapi ada beberapa pengecualian dalam Al-Quran diungkapkan dengan kata kerja seperti dalam surat Al-Ma’arij: 34.
”Alladziina hum ‘ala sholaatihim yuhaafi-dzuun”. Karena kata “Yuhaafidzu” sudah meng-andung arti merawat, menjaga, memelihara, dan mempertahankan, maka diungkapkan dengan kata kerja.
Kata “Aqooma” diterjemahkan menjadi “mendirikan”, perlu ditinjau kembali, karena kemungkinan akan menimbulkan kesalah-fahaman. Karena berasal dari berdiri lalu mengundang asosiasi duduk dan tidur, atau mendirikan yang berkonotasi membangun, seperti mendirikan gedung berarti membangun gedung, dan inilah pemahaman yang berlaku umum. Sementara orang dalam memahami Al-Hadits “Ash-sholaatu ‘imaadudiin waman aqoo-maha faqod aqoomaddiin waman tarokaha faqod hadamaddiin” (artinya: sholat itu tiang agama, barang siapa mendirikannya berarti telah men-dirikan agama dan barang siapa mening-galkannya berarti dia menghancurkan / merobohkan agama), adalah sebagai mem-bangun. Karena sembahyang diumpamakan sebagai tiang, maka ia berasosiasi membangun tiang itu harus betul-betul kuat, fundamen yang kokoh dan lain sebagainya, bukan hanya sembarang tancap. Artinya harus banyak usaha dan tindakan. Ada satu imajinasi yang timbul di dalam fikiran sementara orang bahwa mendirikan sembahyang itu seperti orang membangun suatu gedung. Sedangkan orang yang meninggalkan sembahyang seperti orang yang menghancurkan gedung, yaitu dengan membawa palu besar menghancurkan tembok-tembok dan tiang gedung itu sehingga runtuh.
Padahal arti sebenarnya “aqooma” itu ”menetap” kata ”muqimuun” artinya orang-orang yang bertempat tinggal atau biasa disebut orang-orang yang bermukim. Bermukim di Mekkah berarti tinggal di Mekkah. Dengan demikian hadits tadi di atas artinya sholat diumpamakan seperti tiang, supaya berdiri harus kita tegakkan, supaya jangan jatuh harus selalu kita pegang dan kita jaga terus menerus, kita harus tinggal disamping tiang itu agar tangan kita tetap memegang tiang supaya jangan roboh dan kita harus tetap waspada tidak boleh lengah. Begitu kita lengah atau kita tinggalkan tiang itu akan roboh.
Untuk menentukan titik temu (wajah syabah) dalam suatu resemblence atau kiasan dan perumpamaan bukan hal yang mudah, diperlukan ilmu khusus (Balaghah), untuk menentukan mana yang menjadi wajah syabah diperlukan pengumpulan indikator (qorinah) yang selengkap mungkin. Karena dalam suatu resemblence mungkin terdapat titik temu yang banyak seperti ”Kadir seperti macan”, mempunyai titik temu yang banyak yaitu: mempunyai taring yang panjang, berbulu, gaya berjalan yang lenggang lenggok, senang menyendiri, suka menguasai, keberanian dan lain sebagainya. Dimanakah titik temu antara sholat dengan tiang?.
Definisi Sholat
Fuqoha mendefinisikan sholat secara bahasa berarti berdo’a, sedangkan menurut syara’ ialah ”Perbuatan dan perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dan dengan syarat-syarat tertentu”. Atau merupakan sekumpulan rukun-rukun khusus, bacaan-bacaan tertentu, syarat-syarat yang terbatas, waktu yang telah ditentukan”.
Mendefinisikan sholat dengan menyebutkan artinya do’a adalah benar, atau juga dengan mengupas asal-usul istilah tertentu (terminologi) seperti dijelaskan di atas tadi adalah juga benar, dan ini istilahnya definisi nominal (Ta’rif lafdzi). Sedangkan definisi yang dikemukakan fuqoha atau menurut syara’ dengan disebutkan bahwa sholat itu ialah perbuatan dan perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam adalah juga benar dan definisi ini disebut definisi deskriptif (Ta’rif birrosm). Tetapi keduanya tidak menunjukkan hakekat sholat yang sebenarnya. Untuk menunjukkan hakekat diperlukan definisi logis/esensial (Ta’rif bilhad), susunan definisi seperti ini ialah terdiri dari jenis (bagian umum yang menunjukkan golongan) dan fashol (sifat khas atau hakiki) yang hanya terdapat pada sesuatu itu.
Sampai sekarang belum ada orang yang mencoba mendefinisikan sholat dengan definisi esensial (ta’rif bilhad). Mengapa?, mungkin sebabnya banyak mengalami kesulitan, seperti kesulitan orang mendefinisikan kursi, tidak dapat tepat, selalu berlebihan atau terlalu kekurangan, (tidak Jami’ dan Mani’). Tetapi mengapa tidak kita coba untuk mengatakan bahwa sholat itu ialah ibadah yang berisikan do’a dan dilakukan harus menghadap kiblat, atau sholat itu do’a yang diawali takbir dan diakhiri dengan salam, atau kewajiban “faroidl” atau sunah yang dilakukan muslim dengan gerakan-gerakan tertentu yang berisikan do’a, dll. Sholat itu hakekatnya apa ?.
Sholat itu pada hakekatnya adalah permintaan yang dilakukan dengan cara-cara tertentu. Permintaan (tholab) dalam bahasa Arab adalah suatu istilah yang sangat ditentukan oleh siapa yang meminta dan siapa yang diminta. Dari sini menjadi tiga kemungkinan, yaitu permintaan dari hamba kepada tuhan = doa, permintaan tuhan kepada hamba = perintah (amar), sedangkan permintaan dari hamba kepada hamba = iltimas (permohonan atau nyambat”jw”).
Sembahyang dalam agama apapun, bila kita teliti isinya adalah do’a-do’a yang dipanjatkan seorang hamba kepada Tuhannya, do’a itu dimaksudkan meminta keselamatan, rahmat, berkah, minta ditunjukkan jalan yang benar, kebahagiaan dunia dan akherat dll. Sholat dalam Islam dikategorikan sebagai ibadah, asal katanya “Abdun” artinya hamba, yaitu sebagai pengabdian seorang hamba kepada yang Maha Kuasa, yang telah menciptanya.
Mengapa kita diperintahkan sembahyang/ do’a dan mengapa lima kali ?
Sembahyang/do’a dalam Islam tidak seperti dalam agama-agama murba atau primitif yang beranggapan bahwa sembahyang itu sebagai satu proses tawar menawar dan tukar menukar keuntungan, saling memberi dan saling meminta (reciprocal), karena mereka beranggapan bahwa tuhan-tuhan mereka membutuhkan doa-doa, kurban-kurban dan sesajen-sesajen mereka, sebagai imbalannya mereka meminta anugerah dan karunia dari tuhan-tuhan mereka. Sembahyang/do’a di dalam Islam adalah suatu kewajiban (perintah Allah kepada kita), artinya kita diharuskan meminta. Apabila kita tidak meminta kita akan mendapat murka-Nya. Ini berarti secara psikologis, kita harus meyadari selalu bahwa kita adalah hamba yang serba kekurangan, yang sangat lemah dan yang memerlukan bantuan dan pertolongan. Pengertian ”kewajiban” bukan berarti Allah memerlukan kita, tetapi memerintahkan kita, karena Dia yang Maha Kuasa dan Maha Memerintah. Kita ini hamba-Nya yang sangat lemah.
Seseorang yang menyadari bahwa dirinya lemah, akan secara terpaksa dia akan minta bantuan kepada Allah, minta bantuan kepada teman-temannya. Sebaliknya dia menyadari bahwa sesamanya juga lemah memerlukan bantuan dan pertolongannya. Dia akan memikirkan suatu cara yang cocok untuk dirinya, suatu formulasi kerjasama dengan masyarakatnya. Dari situlah dia menemukan dirinya (eksistentsinya) dalam masyarakat dan dia akan disenangi masyarakatnya karena dia tidak mempunyai rasa congkak, sombong dan takabur, karena dia tahu bahwa dia lemah. Di sinilah letak kunci keberhasilannya dalam masyarakat, karena keberhasilan seseorang terutama di abad ke-20 ini, adalah sangat tergantung kepada kemampuannya, sejauh mana dia mampu bekerjasama. Karena kemampuan individu tidak ada artinya.
Mengapa lima kali sehari kita sembahyang? Bukankah memberatkan dan menyulitkan manusia? Di sinilah letak kebesaran Islam, karena mengetahui persis tabiat kemanusiaan, Islam dan kemanusiaan itu sejajar, manusia itu selalu lupa, selalu alpa dan lengah, kapan saja dan dimana saja mungkin terjadi. Lupa diri kemudian sombong dan congkak, merasa dirinya kuat, kaya dan kuasa, maka rusaklah nilai-nilai kemanusiaannya, dan dia akan tersingkir dari masyarakatnya. Adakah orang yang tahan hidup berdampingan dengan orang yang sombong dan congkak? Sombong dan congkak adalah timbul dari anggapan bahwa dirinya sudah cukup, sehingga tidak memerlukan bantuan orang dan bahkan sebaliknya orang lain yang akan membutuhkan dia dan memerlukan pertolongannya, lalu secara tidak benar telah mengkultuskan dirinya sebagai tempat meminta.
Sembahyang lima kali sehari adalah rutin, itu adalah minimal karena sifat manusia yang suka lupa, frekuensi minimal untuk selalu mengingat Allah dan menyebut nabi-Nya (Muhammad saw.) kalau seandainya sembahyang ditiadakan, atau seminggu sekali, tentu Islam akan mengalami nasib yang sama dengan agama-agama kitab lainnya, yang cukup dengan diturunkan kitab di tangan mereka, sembahyang sesukanya atau seminggu sekali, akhirnya mereka lupa lalu merombak dan merubah kitabnya.
Disiplin waktu
Seorang muslim yang berpegang pada agamanya, mentaati ajaran-ajarannya dan mengerti benar makna Islam, khususnya mengenai kewajiban sholat lima kali sehari, sudah pasti dia menjadi orang yang disiplin waktu. Dia akan sudah bangun sebelum matahari terbit, ketika matahari tegak di atas dia sudah bergegas untuk menghadap tuhan-Nya, ketika menjelang sore, setelah mengecap istirahat sejenak, dia bersiap-siap lagi menghadap tuhannya, ketika matahari akan tenggelam dia sudah siaga menghadap tuhannya lagi dan sebelum tidur dia menghadap tuhannya lagi. ”Sholat itu ialah kewajiban yang waktu-waktunya telah ditetapkan atas orang-orang yang beriman”.
Ada catatan penting di sini, khusus mengenai pengaruh perubahan siang dan malam terhadap manusia, terutama pengaruh langsung terhadap indera dan rasa. Contoh: ketika keluar dari kamar yang gelap, atau tiba-tiba pintu terbuka dan sinar matahari yang sangat terang itu menerpa mata kita, pasti akan dirasakan kesilauan yang sangat, akibatnya terasa pusing dan silau. Ini pengaruhnya besar sekali, baik fisiologi maupun psikologi.
Seorang muslim setiap hari dalam keadaan berjaga Menghadapi perubahan gelap dan terang yang berjalan lambat itu di pagi hari dan di sore hari, sehingga dia tidak kaget dan tidak silau. Dari segi yang lain, perubahan temperatur antara siang dan malam itu besar sekali. Stamina tubuh manusia berbeda pada waktu tertidur dan pada waktu terjaga. Pada waktu tidur lebih lemah. Seorang muslim menghadapi perubahan alami itu tetap dalam keadaan terjaga, karena dia melakukan sholat Subuh dan sholat Maghrib.
Membina pergaulan
Sholat berjamaah dijanjikan akan mendapat pahala berlipat ganda. Atau kalau tidak, paling sedikit seminggu sekali berjama’ah sholat Jumat dan setahun dua kali sholat idul Fitri dan idul Adha. Sholat membina pergaulan manusia, selalu bertemu, selalu bersapa. Tidak ada seorang muslim mengucilkan diri, mengasingkan dan menyisihkan diri. Oleh karena selalu bertemu dengan anggota masyarakat yang lain, dia akan tahu apa yang sedang terjadi dan yang selalu terjadi di masyarakatnya.
Mentaati pemimpin
Seorang makmum harus mentaati tata tertib yang berlaku dan harus turut dengan imam, tidak diperbolehkan bergerak seenaknya sendiri. Kedisiplinan seperti ini telah membuktikan kemenangan muslimim pada waktu perang Badar. Karena sholat inilah maka mobilisasi umat Islam sangat mudah sekali, karena satu sama lain saling kontak dan hubungan tak pernah putus antara anggota masyarakat. Waktu ekspansi Islam diarahkan ke Persia, pemimpin Persia mengirim mata-mata untuk menyelidiki kekuatan umat Islam. Karena mata-mata itu melihat umat Islam berbaris lurus bersaf-saf, apabila seorang pimpinannya yang berdiri di depan ruku’ yang lain mengikuti, apabila bersujud yang lain ikut bersujud. Sampai terakhir ketika pemimpinnya menoleh ke kanan yang lain ikut menoleh ke kanan. Melihat keadaan seperti itu mata-mata Persia menggigil ketakutan, lalu bergegas melapor kepada pemimpinnya, dikatakan bahwa orang-orang Islam mempunyai kesatuan dan persatuan serta ketaatan kepada pemimpin yang luar biasa sehingga mustahil mereka dapat dipatahkan.
Memerangi diskriminasi
Prinsip-prinsip persamaan antara sesama manusia telah banyak disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dan praktek sehari-hari dilakukan lima kali sehari. Dalam sembahyang, tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, mulia dan terhormat, hitam dan putih semua berdiri lurus. Ini juga dapat mengobati penyakit seseorang yang mengidap dalam dirinya, yaitu penyakit rendah diri (minder) atau ”inferiority”.
Seorang perwira tinggi Amerika Serikat ketika melihat orang melakukan sholat berjama’ah terkagum-kagum dan mengatakan: ”Dari sholat itu mendapat 17 butir prinsip-prinsip kemiliteran, yaitu mematuhi dan membiasakan dengan waktu-waktu yang rutin, pertemuan dan rapat atau apel, saling tenggang rasa, persamaan antara bangsawan dan rakyat biasa, tempat disediakan untuk siapa saja yang datang lebih dahulu, saling menghormati dan menghargai dengan lapang dada, tidak ada rasa sombong dan congkak”.
Pengakuan seorang penulis Perancis A. Lief ketika melihat orang-orang Islam sembahyang di Masjid London. Dia mengatakan:”Agama ini benar-benar meyakinkan saya dalam seruannya akan persamaan. Karena sembahyang di Gereja, kelas-kelas dibedakan. Tetapi ketika saya melihat Masjid di London benar-benar mereka sama. Saya melihat orang hitam bersalam-salaman dengan orang putih. Orang hitam bersalaman dengan salah seorang duta besar negara Islam. Duta besar itu menerimanya dengan wajah berseri-seri”.
Rapat dan media komunikasi
Mengumpulkan orang itu bukan hal yang mudah, dirasakan oleh siapapun, disadari oleh setiap bangsa terutama yang belum mengerti disiplin nasional. Bahwa mengumpulkan atau mengundang anggota masyarakat untuk rapat guna memberikan penerangan tentang pembangunan dan lain sebagainya, adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian tersendiri dan harus mampu menciptakan perangsang supaya orang-orang datang, dan biaya yang dikeluarkan untuk itu banyak sekali. Tetapi bagi umat Islam tidak menjadi masalah, kalau tidak setiap hari, paling tidak seminggu mereka berkumpul dimasjid.
Apalagi untuk mengumpulkan orang-orang sedunia, bukan suatu hal yang mudah, untuk mengadakan rapat atau konferensi dunia, biaya yang dikeluarkan milyaran rupiah untuk itu, tetapi untuk umat Islam sangat mudah sekali setiap tahun mereka sudah punya jadwal yang tetap sepanjang jaman mereka akan berkumpul di Mekkah pada musim haji.
Tetapi sayang hal ini belum menjadi kenyataan waktu haji untuk dimanfaatkan guna membicarakan masalah-masalah perdamaian dunia.
Psychoanaliysis
Yang pertama kali mendirikan Psychoanaliysis adalah Sigmun Freud, dalam rangka melakukan psychoterapy.
Catatan : Istilah psychoterapy adalah umum, biasa dimaksudkan untuk cara-cara kejiwaan yang digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit jiwa dan akal, dan terkadang digunakan juga untuk maksud semua cara pengobatan yang digunakan untuk mengatasi guncangan-guncangan kejiwaan, dengan pengertian yang umum ini mencakup semua pengobatan jiwa dengan guncangan listrik (shock therapy), obat-obatan, operasi, massage air panas dll.
Sehubungan dengan shalat ini, maka yang dimaksudkan hanya pengertian yang khusus yaitu psychotherapy dalam artian pengobatan dengan cara-cara kejiwaan. Sigmund Frued dalam mengobati pasiennya yang karena hidupnya tertekan (repression) sehingga mengakibatkan Komplikasi jiwa, disuruh duduk dengan relax benar-benar di kamar dokter, kemudian dia diminta supaya menceritakan tentang seluruh hidupnya dengan suara pelan-pelan dan terdengar jelas, kemudian mengakui kesalahan-kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan, sehingga dengan demikian, seorang dokter dapat melakukan interfensi perdamaian di dalam hati sanubari pasiennya. Sehingga si sakit tidak lagi mencaci dirinya sendiri. Proses pengobatan seperti ini dilakukan oleh seorang muslim sehari lima kali. Bukan di hadapan dokter, tetapi di hadapan Tuhannya ”yang apabila aku sakit Dialah yang menyembuhkan”.
Olahraga
Sementara orang mengkorek-korek hikmah shalat sampai kepada masalah olahraga, artinya bahwa shalat itu bagaikan olahraga seorang muslim sehari lima kali. Faedah shalat melatih muslim berolahraga. Namun apakah hal ini tidak berlebihan ? Karena pada prakteknya, shalat dan olah-raga itu berbeda sekali. Antara lain, dasar-dasar olahraga itu dilakukan dengan gesit, tangkas dan cepat. Orang yang melakukan shalat tentu tidak mengangkat tangannya pada waktu takbir dengan sekuat tenaga dengan gerakan gesit dan tangkas. Juga pada waktu ruku’ dan sujud tidak dilakukan dengan gerakan-gerakan hebat yang dapat mengendorkan otot-otot seperti orang senam atau latihan karate. Shalat dilakukan dengan lembut, khusyu’ dan penuh khidmat. Bahkan tidak boleh menggerakkan badan sesuka hati diluar cara-cara yang ditentukan, menggaruk-garuk sesuatu yang menggatalkan badan juga harus dengan cara khusyu’, supaya jangan menyebabkan shalat jadi batal, akibat guncangan-guncangan badan yang berlebihan.
Tetapi usaha mencari hikmah shalat itu pun perlu dihargai. Dan kalau seandainya ada unsur olahraga, dan ini mungkin sekali, walaupun sangat minim. Yaitu pada waktu ruku’ memang terasa urat-urat di pinggang tertarik dan agak mengendor.
Mungkin yang paling terasa ialah yang berhubungan dengan gerak shalat pada waktu duduk tasyahud, sehubungan dengan sistem zona therapy, yaitu pijat di telapak kaki. Pada waktu kita duduk tasyahud yaitu dengan duduk bersimpuh, kaki kanan menghadap ke belakang dengan menekuk jari-jari kaki, dan kaki yang kiri dilipat ke kanan di bawah kaki kanan. Lekukan telapak kaki kiri tertindih tulang betis. Posisi duduk kita agak miring ke kiri, sehingga urat punggung kaki kiri tertarik. Keadaan seperti ini dijelaskan zona therapy bahwa jari-jari kaki adalah merupakan ujung dari urat-urat sekujur badan, ditekuk waktu shalat jari-jari kaki sebelah kanan, terutama di jari manis kaki sebagai pusat saraf yang berhubungan erat dengan kepala dan otak, bila pening perlu dipijat dan ditekuk, akan dapat dirasakan langsung kesembuhannya. Lekuk telapak kaki kiri yang ditindih tulang betis kaki sebelah kanan terasa seperti dipijat, dan itu adalah sentral saraf seluruh badan yang hubungannya erat dengan mengapa kita lelah dan cape sehingga perlu dipijat.
Oleh: KH.A.Syakur Yasin
(Pengasuh Ponpes Cadang Pinggan,Indramayu)