Selasa, 23 Mei 2017

Lunturnya Nasionalisme




Seiring berkembangnya zaman, rasa nasionalisme kian memudar. Hal ini dibuktikan dari berbagai sikap dalam memaknai berbagai hal penting bagi Negara Indonesia. Contoh sederhana yang menggambarkan betapa kecilnya rasa nasionalisme, diantaranya :
1.      Pada saat upacara bendera, masih banyak rakyat yang tidak memaknai arti dari upacara tersebut. Upacara merupakan wadah untuk menghormati dan menghargai para pahlawan yang telah berjuang keras untuk mengambil kemerdekaan dari tangan para penjajah. Para pemuda seakan sibuk dengan pikirannya sendiri, tanpa mengikuti upacara dengan khidmad.
2.      Pada peringatan hari-hari besar nasional, seperti Sumpah Pemuda, hannya dimaknai sebagai serermonial dan hiburan saja tanpa menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme dalam benak mereka.
3.      Lebih tertariknya masyarakat terhadap produk impor dibandingkan dengan produk buatan dalam negeri,lebih banyak mencampurkan bahasa asing dengan bahasa Indonesia untuk meningkatkan gengsi, dan lain-lain.
4.      Kurangnya kesadaran masyarakat “hanya” untuk memasang bendera di depan rumah, kantor atau pertokoan. Dan bagi yang tidak mengibarkannya mereka punya berbagai macam alas an entah benderanya sudah sobek atau tidak punya tiang bendera, malas , cuaca buruk, dan lain-lain. Mereka mampu membeli sepeda motor baru, baju baru tiap tahun yang harganya ratusan bahkan jutaan  tapi mengapa untuk bendera merah putih yang harganya tidak sampai ratusan saja mereka tidak sanggup?
Semua identitas bangsa Indonesia baik itu bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lain sebagainya hanyalah merupakan simbol, symbol bahwa negara Indonesia masih berdiri tegak dan mampu mensejajarkan dirinya dengan bangsa lain. Bagaimana kita bias bangga menjadi bangsa ini jika kita malas dan malu memakai atribut bangsa Indonesia ini.
Jika ditinjau dari sudut pandang, gejala ini mulai terlihat sejak era reformasi karena pada masa orde baru, pemasangan bendera adalah sesuatu yang bersifat wajib. Sejak era reformasi, animo masyarakat untuk turut andil dalam memeriahkan Dirgahayu RI juga berkurang. Pada masa sekarang ini sudah sulit ditemukan perlombaan-perlombaan 17-an. Padahal pada masa orde baru, suasana 17-an telah dirasakan sejak awal Agustus. Perlombaan 17-an merupakan kegiatan rutin setiap tahunnya dan sudah menjadi budaya baru di negara ini. Melalui kegiatan ini dapat ditanamkan nilai-nilai nasionalisme ke dalam diri generasi muda yang nantinya menjadi penerus bangsa. Contoh, dalam permainan panjat pinang yang paling sulit diraih adalah bendera dan harus melalui usaha keras untuk mendapatkannya. Dari hal kecil tersebut terkandung nilai pembelajaran yang sangat tinggi yaitu untuk merebut kemerdekaan, para pahlawan berjuang mati-matian tanpa mengenal lelah dan tentunya disertai dengan rasa keikhlasan hati. Terakhir, hal yang paling ironis adalah bangsa ini pada kenyataannya kurang menghargai jasa-jasa para pahlawan yang masih hidup hingga sekarang. Mereka yang dahulu telah mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan Indonesia justru mendapatkan imbalan berupa kehidupan yang tidak layak disisa umur mereka. Padahal dapat dibayangkan apabila dahulu para pahlawan tidak mau berjuang, pastinya Indonesia masih dalam penjajahan bangsa asing.
Sebenarnya nasib kita masih lebih baik dan beruntung daripada para pejuang dulu, kita hanya meneruskan perjuangan mereka tanpa harus mengorbankan nyawa dan harta.Nasionalisme kita semakin luntur dan akankah punah tergilas modernisasi dan individualis. Masih banyak bentuk nasionalisme lain yang kita rasakan semakin memudar. Kurangnya kecintaan kita terhadap produk dalam negeri dan merasa bangga kalau bisa memakai produk dalam negeri. Kegilaan kita tripping keluar negeri padahal negeri sendiri belum tentu dijelajahi. Kita belum tersadar betul bahwa lambat laun sikap-sikap seperti itu akan semakin menjauhkan kecintaan kita kepada  negeri ini.
Rasa nasionalisme bangsa pada saat ini hanya muncul bila ada suatu faktor pendorong, seperti kasus pengklaiman beberapa kebudayan dan pulau-pulau kecil Indonesiaseperti Sipadan, Ligitan , serta Ambalat oleh Malaysia beberapa waktu yang lalu. Namun rasa nasionalisme pun kembali berkurang seiring dengan meredanya konflik tersebut.
 
 Begitu juga masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya terlihat betapa lunturnya nilai-nilai luhur bangsa ini yang tercermin baik dalam orasinya, spanduk/poster yang dibentangkan maupun tingkah laku yang tidak santun. Pernah terjadi pada suatu peristiwa demonstrasi, mereka menginjak injak dan membakar gambar/foto presiden yang nota bene sebagai lambang negara dan harus dihormati oleh seluruh anak bangsa.
 
Globalisasi juga membawa pengaruh negatif terhadap nilai-nilai nasionalisme, antara lain:
1.        Hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (sepertiMc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
2.        Masyarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggaps ebagai kiblat.
3.        Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
4.        Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesamawarga. Dengan adanya individualism maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
 
Masyarakat, khususnya generasi muda adalah penerus bangsa. Bangsa akan menjadi maju bila para pemudanya memiliki sikap nasionalisme yang tinggi. Namun dengan perkembangan zaman yang semakin maju, malah menyebabkan memudarnya rasa nasionalisme. Nasionalisme sangat penting terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara karena merupakan wujud kecintaan dan kehormatan terhadap bangsa sendiri. Dengan hal itu, pemuda dapat melakukan sesuatu yang terbaik bagi bangsanya, menjaga keutuhan persatuan bangsa, dan meningkatkan martabat bangsa dihadapan dunia.
 
Namun, dengan memudarnya rasa nasionalisme dapat mengancam dan menghancurkan bangsa Indonesia. Hal itu terjadi karena ketahanan nasional akan menjadi lemah dan dapat dengan mudah ditembus oleh pihak luar. Bangsa Indonesia sudah dijajah sedari dulu sejak rasa nasionalisme pemuda memudar. Bukan dijajah dalam bentuk fisik, namun dijajah secara mental dan ideology.
 
Banyak sekali kebudayaan dan paham barat yang masuk ke dalam bangsa Indonesia. Banyak budaya dan paham barat yang berpengaruh negatif dapat dengan mudah masuk dan diterima oleh bangsa Indonesia. Dengan terjadinya hal itu, maka akan terjadi akulturasi, bahkan menghilangnya kebudayaan dan kepribadian bangsa yang seharusnya menjadi jati diri bangsa.
 
Dalam aspek perekonomian Negara, dengan memudarnya rasa nasionalisme, mengakibatkan perekonomian bangsa Indonesia jauh tertinggal dari Negara-negara tetangga. Saat ini masyarakat hanya memikirkan apa yang Negara berikan untuk mereka, bukan memikirkan apa yang mereka dapat berikan pada Negara. Dengan keegoisan inilah, masyarakat lebih menuntut hak daripada kewajibannya sebagai warga Negara. Sikap individual yang lebih mementingkan diri sendiri dan hanya memperkaya diri sendiri tanpa memberikan retribusi pada Negara, mengakibatkan perekonomian Negara semakin lemah.
 
Sumber:Dari berbagai sumber
 

Sabtu, 20 Mei 2017

Tokoh Kebangkitan Nasional Indonesia

Hari Kebangkitan Nasional jatuh setiap tanggal 20 Mei setiap tahunnya. Makna dari kebangkitan nasional itu sebenarnya adalah titik awal bangkitnya rasa persatuan dan kesatuan setelah tempaan 350 tahun masa penjajahan.
Pergerakan tersebut tentunya tidak terjadi begitu saja. Ada pihak-pihak yang menjadi pelopor tergeraknya rasa persatuan dan kesatuan untuk bangkit. Tokoh-tokoh berikut adalah pelopornya.

1. Sutomo


Tokoh yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo ini memang tokoh yang banyak berpengaruh pada perjuangan rakyat, khususnya rakyat Surabaya. Masih ingatkah kamu pidatonya yang begitu menggebu-gebu untuk membangkitkan semangat arek-arek Surabaya?
Saat itu di tahun 1945, Bung Tomo hendak membangkitkan rasa persatuan guna mengusir NICA, peristiwa inilah yang menjadi asal muasal peringatan hari Pahlawan pada 10 November.

2. Ir. Soekarno


Salah satu Bapak Bangsa ini memang tidak perlu diragukan lagi peranannya. Tokoh yang juga dikenal sebagai orator handal yang bisa menggerakan emosi siapapun yang mendengarnya, ikut tergugah dan memiliki satu visi misi terhadap esensi pidato yang disampaikan.
Tokoh proklamator Indonesia, pencetus pancasila, dan membina hubungan internasional merupakan peranan Soekarno. Bahkan, Soekarno yang menerapkan gerakan non-block kala itu berhasil bekerja sama dengan Uni Soviet -sekarang Rusia- dan namanya diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Rusia.

3. Dr. Cipto Mangunkusumo



Salah satu tokoh "tiga serangkai", pendiri Indische Partij, salah satu organisasi politik pertama yang rajin melontarkan kritik terhadap pemerintahan. Sikap kiritsnya memang sudah tampak sejak bersekolah di STOVIA. Banyak tulisan-tulisan dirinya yang memuat kritik ketidakpuasan akan pemerintahan Belanda yang sedang berjalan saat itu.
Tulisan-tulisannya dimuat di De Locomotief, suratkabar harian kolonial yang berkembang saat itu. Fokus tulisan darinya berada di topik sistem pemerintahan, juga diskriminasi yang dilakukan terhadap pribumi. Karena tulisannya tersebut, Cipto sering mendapat teguran dari pemerintah. Bukan berhenti, beliau malah keluar dari dinas pemerintah dan diharuskan membayar uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit jumlahnya.

4. Ki Hajar Dewantara


Tokoh yang terkenal peranannya di dunia pendidikan. Bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, menjadi Ki Hajar Dewantara sejak tahun 1922. Tidak hanya berperan dalam dunia pendidikan, Ki Hajar Dewantara juga seorang politisi dan kolumnis. Juga tokoh "tiga serangkai" pendiri Indische Partij.
Langkah terbesarnya dengan mendirikan Taman Siswa. Lembaga yang membuka kesempatan bagi rakyat jelata untuk memperoleh pendidikan yang layak. Seperti yang kita tahu, saat era kolonial tidak semua orang pribumi bisa mengenyam pendidikan. Hanya anak-anak dari bangsawan dan orang-orang berpengaruh yang diizinkan duduk di bangku sekolah.

5. dr. Douwes Dekker


Pria kelahiran Pasuruan ini pelengkap tokoh "tiga serangkai" yang bersama mendirikan Indische Partij. Penulis kritik tentang pemerintah, wartawan, serta aktivis politik menjadi hal-hal yang mengidentikkan diri dengan tokoh yang memiliki nama lengkap dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker ini. Selain itu, beliaulah penggagas nama Nusantara sebagai tanah Hindia Belanda yang merdeka.
Dari kelima tokoh Hari Kebangkitan Nasional yang telah dijabarkan sebelumnya, kamu minimal bisa mengambil satu atau dua poin mengenai makna dari kebangkitan nasional itu sendiri. Mereka berpikir dengan begitu lugas saat situasi sulit, saat sudah mudah seperti sekarang seharusnya pemikiran yang tercetus dapat lebih mungkin untuk direalisasikan.

Sumber:Bintang.com

Selasa, 16 Mei 2017

FPI Ormas Islam Paling Toleran

 

 Yayasan Assaadah bekerja sama dengan DPD FPI DKI Jakarta menggelar acara Silaturahmi dan Dialog Lintas Agama di Yayasan Pendidikan Assaadah, Poltangan, Jakarta, Sabtu (5/9).
Kegiatan yang mengambil tema “Membangun Peradaban Dialog Antar Umat Beragama” ini dihadiri oleh sejumlah ulama, tokoh ormas dan tokoh masyarakat. Nampak hadir pula beberapa perwakilan tokoh agama Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu, serta dari perwakilan FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) serta sejumlah aparat negara.

Selain itu, dari jajaran aparatur negara nampak hadir Kapolda DKI Jakarta, Irjen Tito Karnavian, serta sejumlah Kapolres dan pejabat lainnya.

Dan dalam rangka menjaga keharmonisan hubungan antar umat manusia apa pun agamanya, menurut Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab (Imam Besar FPI), maka Islam telah meletakkan tidak kurang dari 10 (sepuluh) PILAR TOLERANSI, yaitu sebagai berikut :

1. Tidak boleh ada pencampur-adukkan agama Islam dengan agama apa pun.

2. Tidak boleh ada paksaan terhadap siapa pun  untuk masuk ke dalam agama Islam.

3. Kewajiban DA'WAH dengan Hikmah dan Mau'izhoh Hasanah serta Dialog dengan cara terbaik, tanpa melupakan kewajiban HISBAH dengan tegas dan JIHAD dengan keras sesuai aturan Syariat Islam.

4. Tidak ada larangan berbuat baik dan bersikap adil kepada umat agama lain.

5. Tidak ada larangan bermu'amalah dalam urusan sosial ekonomi kemasyarakatan dengan orang di luar Islam.

6. Tidak ada larangan memanfaatkan tenaga non muslim untuk kemaslahatan umat Islam.

7. Kewajiban Penegakan Keadilan untuk semua umat manusia.

8. Larangan berbuat Zhalim terhadap Manusia mau pun Hewan dan Tumbuhan.

9.Larangan mencaci maki dan mencerca serta menghina dan menodai suatu agama, termasuk mengganggu atau menghalangi ibadah suatu umat beragama.

10. Kewajiban Penegakan Akhlaq Karimah sekali pun dalam situasi perang melawan Kafir.

Siapa yang ingin menyimak lebih dalam tiap-tiap pilar di atas lengkap dengan Dalil dan penjelasannya, silakan baca Buku penulis yang berjudul "Wawasan Kebangsaan - Menuju NKRI Bersyariah" Bab Kesatu Pasal TOLERANSI halaman 75 - 89 terbitan SUARA ISLAM.

Batasan Toleransi
Di samping kita perlu mengenal dan memahami 10 (sepuluh) Pilar Toleransi, maka kita harus juga menyoroti Batasan Toleransi yang tidak boleh dilanggar oleh setiap muslim, yaitu :

A. Jangan campur aduk Ibadah/Aqidah, antara lain :

1. Jangan sekali-kali mengatakan semua agama sama dan benar.

2. Jangan sekali-kali memuji atau membela kesesatan agama di luar Islam.
3. Jangan masuk ke rumah ibadah agama lain untuk ikut kegiatan keagamaannya.

4. Jangan ikut merayakan Hari Raya agama lain, walau pun hanya sekedar mengucapkan selamat.

5. Jangan gelar Doa Bersama dengan Kafir, sehingga muslim mengaminkan Doa Kafir kepada Tuhannya.

B. Jangan campur aduk Syariah/Hukum, antara lain:

1. Jangan melakukan perkawinan Islam dengan Kafir.

2. Jangan ada saling mewarisi antara Muslim dan Kafir.

3. Jangan jadikan Kafir sebagai Pemimpin bagi umat Islam di negeri-negeri muslim.

4. Jika bermu'amalah dengan Kafir, maka jangan sekali-kali terlibat dengan Riba atau hal lain yang diharamkan dalam Syariat Islam.

5. Jangan sekali-kali membantu orang Kafir untuk menzholimi Muslim dengan alasan apa pun.

Dengan demikian, Toleransi dalam ajaran Islam ada batasan yang tidak boleh dilanggar, sehingga tidak kebablasan. (fpi.or.id/habibrizieq.com)


Sumber:TABLOIDPODIUM.COM

Sabtu, 13 Mei 2017

Lagu Indonesia Raya Versi Arab



Dalam sebuah tayangan video ada seorang nenek menyanyikan lagu dengan ritme seperti lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dengan terbata-bata nenek tersebut menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan logat bahasa Arab. Nenek sepuh ini asyik bernyanyi hingga rampung.
Apakah memang benar dulu sudah berkembang lagu Indonesia Raya versi Arab? Menurut budayawan Agus Sunyoto hal itu memang benar adanya.  Di banyak pesantren lagu tersebut banyak diajarkan, dalam rangka menumbuhkan semangat kebangsaan menuju kemerdekaan. “Dalam cacatan disebutkan bahwa di sekolah Arabic Lager School 1936-1942 diam-diam mengajarkan lagu Indonesia raya dalam bahasa Arab. Pemerintah Belanda tidak lagi ketat untuk mengawasi sekolah mengingat mereka dalam ancaman Jepang,” kata Agus yang juga Ketua Lembaga Kebudayaan NU (Lesbumi) ini.

Sumber:Dari berbagai sumber

Jumat, 12 Mei 2017

Cumi-Cumi Raksasa Terdampar




Seekor cumi-cumi raksasa dengan panjang sekitar 15 meter dan lebar 6-7 meter ditemukan warga di Pulau Seram. Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima, cumi-cumi yang sudah mati itu pertama kali ditemukan warga bernama Asrul Tuanakota pada Selasa (9/5) malam. 
Cumi-cumi raksasa itu ditemukan di Pantai Hulung Desa Iha, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
Warga di pesisir pantai Desa Iha, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, dihebohkan dengan penemuan cumi-cumi raksasa yang mati terdampar.
Dalam keterangan Kodam XVI/Pattimura, hewan laut itu pertama kali ditemukan pada Selasa (9/5) pukul 21.00 WIT.
Warga bernama Asrul Tuanakota (37), karena suasana gelap, pertama kali mengira ada perahu yang bersandar.
Namun karena merasa penasaran, keesokan hari, tepatnya pagi tadi pukul 09.00 WIT, dia mengecek lokasi. Asrul melihat makhluk laut, seperti cumi, yang berukuran raksasa. Temuan itu lalu dia beritahukan kepada warga setempat.


Belum diketahui pasti penyebab cumi-cumi raksasa berukuran 15 meter dengan berat sekitar 35 ton itu terdampar di pesisir pantai. Diduga cumi-cumi itu sudah 3 hari mati sebelum ditemukan oleh warga.
Kejadian cumi-cumi raksasa yang terdampar ini mengingatkan pada gurita raksasa yang juga pernah terdampar di Maluku.
Pada bulan Juni 2015 lalu di pesisir Pulau Hatta, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, seekor gurita raksasa ditemukan mati terdampar.


Awalnya warga sekitar mengira hewan yang terdampar adalah anjing laut yang berukuran besar. Namun setelah di periksa lebih dekat, hewan tersebut lebih mirip dengan gurita karena memilki lengan-lengan panjang.
Bau bangkai yang menyengat membuat warga segera memindahkan bangkai tersebut ke lokasi yang jauh dari pemukiman.
Sumber:dari berbagai sumber 

Kamis, 11 Mei 2017

AS,Trump,dan Islam

Oleh : Azyumardi Azra
REPUBLIKA.CO.ID, 100 hari pemerintahan Presiden Donald Trump akhir April 2017 lalu meninggalkan kesan campur aduk bagi warga Amerika Serikat sendiri, maupun bagi masyarakat dunia. Dalam lebih tiga bulan pemerintahannya, Trump mendatangkan banyak tanda tanya terkait terutama dengan inkonsistensi kebijakan dalam dan luar negeri.
Bagi para pendukungnya, populisme politik, kebijakan Trump yang menekankankan prinsip ‘America First’, pertama-tama Amerika, sejumlah kebijakan cukup menjanjikan. Sedangkan bagi para penentangnya, langkah-langkah Presiden Trump dianggap tidak bakal mampu membangkitkan kembali kebesaran negara ini di tengah percaturan politik dan ekonomi dunia.
Di tengah pergumulan optimisme atau pesimisme masing-masing pihak tersebut, yang jelas jumlah demonstrasi anti-Trump yang pernah melanda banyak kota AS di awal pemerintahannya, kini terlihat telah menyurut.
Selain itu, asumsi bahwa Presiden Trump tidak bakal mampu bertahan lama dalam jabatannya kini terlihat kian tidak relevan. Selama tidak melakukan kekeliruan fatal seperti pelanggaran konstitusi, pengkhianatan, tindakan penyogokan dan kriminal berat lain, Presiden Trump akan tetap bertahan—tidak bisa dimakzulkan.
Bahkan Trump nampaknya tidak hanya bertahan, tapi juga telah menyiapkan diri untuk maju dalam masa jabatan kedua nanti. Untuk itu, tim suksesnya sudah mulai menggalang dana.
Berada di New York sepanjang pertengahan bulan lalu (16-22/4/17), penulis Resonansi ini menyaksikan dan merasakan kehidupan telah kembali normal setelah kegaduhan politik yang panjang. Tidak terlihat demontrasi atau aksi massa anti-Trump. Hanya saja jalan ke arah Trump Tower dijaga kian ketat untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diharapkan.
Sejauh menyangkut Islam dan Muslim, Trump sejak masa kampanye berulangkali misalnya menyatakan tentang bahaya ‘terorisme radikal Islam’. Dia berjanji mencabut bahaya ini ‘sampai ke akar-akar’ (uprooted).
Tapi dalam kesempatan lain, Trump berbicara lebih hati-hati. Dia membedakan antara 1,6 miliar Muslim yang mengikuti ajaran Islam secara damai dengan ‘sekelompok orang [Muslim] yang berbahaya”. Di masa kampanye, Trump juga pernah menyatakan “Saya pikir Islam membenci kita”.
President Trump lebih dari itu; dia orang yang sulit diduga. Tak lama dilantik sebagai presiden dia segera mengeluarkan ‘Kepres’ (executive order) yang melarang masuknya pendatang dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim dan juga menghentikan penerimaan pengungsi dari Syria.
Memang secara kasat mata tak nampak di depan masyarakat New York peningkatan Islamo-fobia. Beberapa Muslim New York kepada penulis Resonansi ini juga menyatakan mereka tidak melihat peningkatan Islamofobia sejak kemunculan Trump. Gejala ini kelihatan berkaitan dengan kenyataan New York sebagai kota multikultural dan kosmopolitan.
Tetapi pada segi lain, untuk tingkat nasional Amerika sejak Trump memegang kekuasaan, menurut Council on American Muslim Relations (CAIR) insiden Islamofobik di pintu masuk AS meningkat sampai sekitar 1.000 persen (The Independent, 25/4/17). Peningkatan ini terkait khususnya dengan pegawai Dinas Cukai dan Perlindungan Perbatasan—termasuk petugas imigrasi di bandara. Peningkatan ini memperlihatkan korelasi antara Kepres Presiden Trump tentang pelarangan masuk pendatang dari tujuh negara berpenduduk Muslim.
Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terkecualikan dari kebijakan imigrasi Presiden Trump. Meski pernah mengalami sejumlah aksi radikalisme dan terorisme, Indonesia tetap dipandang pemerintahan Trump sebagai negara damai dengan penduduk Muslim-nya yang umumnya juga cinta damai.
Dalam kaitan itu, dalam pembicaraan penulis dengan kalangan akademisi di kampus universitas dan lembaga riset di kawasan New York dan sekitarnya terungkap bahwa Indonesia bagi mereka tetap menjadi sebuah model kerukunan agama dan pluralisme demokrasi. Dalam konteks perbandingan, Indonesia masih tetap menjadi salah satu—jika tidak satu-satunya—negara berpenduduk mayoritas Muslim di mana Islam kompatibel dengan demokrasi.
Tak hanya itu. Indonesia dengan keragaman agama, etnis, budaya dan bahasanya, menjadi model di mana hubungan intra- dan antar-agama terwujud harmonis. Di sini peran umat Islam yang mengikuti dan menjalankan paradigma Islam wasathiyah menjadi sangat krusial. Berkat Muslim Indonesia wasathiyah yang inklusif dan akomodatif dapat terwujud Indonesia merdeka yang bersatu.
Meski demikian, mereka juga mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi dalam kasus Pilgub DKI, di mana Ahok yang ‘double minority’ (Kristen dan keturunan Tionghoa) kalah dalam Putaran Kedua. Mereka melihat kekalahan Ahok terkait dengan mobilisasi sentimen Islam melalui penggunaan simbol dan ajaran Islam tertentu.
Karena itu, mereka melihat kasus ini sebagai ‘ujian’ bagi demokrasi Indonesia. Apakah perjalanan demokrasi Indonesia selanjutnya, seperti Pileg dan Pilpres 2019 juga bakal ditentukan sentimen dan mobilisasi simbolisme agama. Pertanyaan tak mudah dan terlalu awal untuk bisa dijawab agak akurat.

Sumber:Republika

Senin, 08 Mei 2017

Panglima TNI Tersinggung Demo Umat Islam Disebut Makar


  Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo tersinggung dengan cap makar yang disematkan pada aksi Bela Islam. Menurut Gatot, upaya makar dalam aksi Bela Islam adalah berita bohong alias hoax.
Gatot Nurmantyo meyakini upaya makar tidak akan mungkin dilakukan kelompok Islam untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Jokowi. Faktanya, aksi Bela Islam yang telah berulangkali dilakukan selalu berjalan aman dan tertib.
“Kudeta Presiden Jokowi. Saya agak tersinggung kata-kata seperti itu, karena saya sebagai umat Islam juga,” ujar Gatot dalam talkshow “Rosi” di Kompas TV, Kamis malam (4/5/2017).
 Gatot lantas menceritakan sejarah organisasi terbesar di Indonesia Islam, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Menurut Gatot, dua organisasi Islam itu merupakan motor bersama rakyat dari kelompok agama lain dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
Dikatakan Gatot, di saat para ulama menggalang kekuatan bersama berbagai lapisan masyarakat, TNI belum ada. Perjuangan para ulama dan rakyat kala itu merupakan keinginan dan naluri pejuang rakyat Indonesia. Mereka lah yang berhasil membawa Indonesia menjadi negara yang merdeka meski hanya bermodalkan bambu runcing.
“Apakah sejak perjuangan itu, yang mayoritas dilakukan umat Islam, lalu dipertahankan umat Islam dan kemudian umat Islam yang merusaknya? Tidak mungkin. Buktinya aksi 411, 212, aman, damai, dan tertib,” tegas Gatot Nurmantyo.
Atas dasar itulah, Gatot meminta agar aksi Bela Islam tidak dikaitkan dengan upaya makar. Gatot juga berpesan agar aksi unjuk rasa yang dilakukan masyarakat tidak dicurigai sebagai aksi yang ingin menggulingkan pemerintahan yang sah.
“Kalau ada demo, jangan dianggap makar. Pasti demo akan dilakukan dengan kedewasaan masyarakat salurkan aspirasinya, dan itu sah-sah saja,” tandas Gatot.

Sumber :POJOKSATU.id

Minggu, 07 Mei 2017

Pengikut Habib Rizieq


 
Oleh: Moh Mahfud MD*
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
                                     
KETIKA awal pekan lalu (25/4/2017), melalui program talkshow di sebuah televisi berita, saya mengatakan bahwa pengikut Habib Rizieq tidak banyak, muncullah banyak tanggapan melalui media sosial. Meski banyak yang menanggapi positif dan menyatakan sependapat, ada juga yang tidak sependapat dengan pernyataan saya itu.

Yang tidak setuju dengan pendapat saya mengatakan, ratusan ribu bahkan jutaan orang yang datang mengikuti aksi damai di Jakarta pada Aksi Damai 411 dan 212 adalah fakta bahwa pengikut Habib Rizieq sangat banyak.

Tapi bagi saya sendiri jutaan orang yang ikut Aksi 411 dan 212 bukanlah pengikut Habib Rizieq, melainkan orang-orang yang “menumpang” untuk ikut melakukan protes. Bahkan saya meyakini, pada umumnya pengikut kedua aksi itu adalah warga NU dan Muhammadiyah.

Bagi saya, tidak mungkin massa sebanyak itu bisa terkumpul jika bukan dari warga Muhammadiyah dan NU. Saya kenal dengan begitu banyak orang NU dan Muhammadiyah yang ikut aktif menggalang aksi itu, bahkan nama dan foto-fotonya terpampang di media massa.

Ada yang menyanggah: bukankah PBNU dan PP Muhammadiyah sudah jelas menyatakan tidak ikut ambil bagian dalam aksi-aksi itu? Saya pun menanyakan juga kepada sebagian dari peserta aksi itu dan mereka menjawab, meskipun dirinya orang NU atau Muhammadiyah, mereka ikut aksi bukan sebagai warga Muhammadiyah atau NU.

Mereka ikut aksi itu dengan memakai baju sebagai anggota organisasi lain seperti anggota majelis taklim, anggota kelompok arisan, anggota keluarga alumni satu sekolah, pengurus-pengurus yayasan, bahkan sebagai muslim perseorangan.

Bahkan saya juga mendapat banyak kiriman swafoto dari kolega-kolega, bekas mahasiswa, keluarga, dan kenalan-kenalan saya yang bekerja di kantor-kantor pemerintah maupun swasta dari seluruh Indonesia seperti jaksa, hakim, dokter, dan artis yang diambil dari arena Aksi 411 dan 212. Mereka memakai baju koko atau hijab putih dan berswafotoria dengan latar belakang Masjid Istiqlal dan Monumen Nasional (Monas).

Menurut saya mereka mengikuti aksi-aksi itu bukan karena mengikuti Habib Rizieq, melainkan ikut menumpang untuk melakukan protes atas ketidakadilan sosial dan lemahnya penegakan hukum yang terus terjadi selama era Reformasi. Mereka terpaksa ikut menumpang karena, maaf, organisasi resminya, NU dan Muhammadiyah, lebih banyak melakukan amar makruf dan kurang melakukan nahi munkar.

PBNU dan PP Muhammadiyah, karena posisinya yang harus hati-hati, memang lebih banyak menyampaikan amar makruf (memberi petuah dan imbauan-imbauan untuk kebaikan) daripada melakukan nahi munkar (mencegah, memprotes, dan bersikap tegas atas kemungkaran)

Nah, orang-orang yang mencari saluran untuk melakukan protes dan “nahi munkar” itulah yang ikut kegiatan insidental (bukan sebagai peserta tetap) aksi-aksi yang digalang Habib Rizieq. Ada yang mengatakan, ibarat merawat tanaman, PBNU dan Muhammadiyah yang giat menyiram agar subur, tetapi Habib Rizieq yang membasmi hamanya.

Jadi jika hanya melihat aksi Superdamai 411 dan 212 saya tidak melihat adanya ancaman serius dari gerakan radikalisme atau intoleransi. Peserta Aksi 411 dan 212 itu tidak bertujuan melawan ideologi negara Pancasila dan NKRI dan bukan ingin memusuhi orang yang berbeda ikatan primordial, melainkan hanya menumpang protes.

Setelah itu mereka pulang, kembali ke rumah NU dan Muhammadiyah masing-masing dan tidak punya ikatan melembaga dengan Habib Rizieq, apalagi dengan FPI.

Ini berbeda dengan pengumpulan massa dalam istigasah NU yang dirakit dalam hubungan batin mendalam. Contohnya, tanpa ramai-ramai di medsos atau publikasi yang hiruk-pikuk dan hanya melalui pesan dari mulut ke mulut, istigasah NU Jawa Timur beberapa waktu yang lalu berhasil menyedot ratusan ribu umat yang berdoa untuk bangsa dan NKRI dengan tangis khusyuk.

Kalau begitu, apakah ada gerakan radikalisme dan intoleransi di Indonesia? Jika itu yang ditanyakan, jawabannya “tentu ada”. Terutama dalam primordialisme agama, pada agama apa pun, bibit-bibit radikalisme pasti ada.

Mereka ingin membongkar secara radikal sistem yang sudah disepakati sambil melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan intoleran. Namun jumlah mereka ini sangat sedikit, hanya percikan kecil dari mainstream, dan selalu mudah dideteksi serta diatasi karena bukan hanya ditangani aparat negara, tetapi juga dilawan oleh rakyat.

Banyak orang yang (terjebak) ikut aksi insidental kaum radikal dan intoleran karena kaum radikal dan intoleran yang sedikit itu menggunakan isu ketidakadilan, kesenjangan sosial ekonomi, merajalelanya korupsi, dan kemiskinan untuk melakukan aksi-aksi protes.

Kaum radikal dan intoleran sekarang ini sudah terdeteksi juga masuk ke sekolah-sekolah untuk memengaruhi generasi muda, tetapi pintu masuk rayuannya bukanlah ideologi, melainkan isu ketidakadilan dan kemiskinan. Mereka yang ikut melakukan protes itu sebenarnya tidak radikal dan tidak intoleran, pokoknya hanya menumpang protes.

Dengan demikian jika kita benar-benar ingin menyelamatkan NKRI yang terbangun megah di atas fondasi Pancasila, kita harus menunjukkan kepada rakyat bahwa kita benar-benar berusaha menegakkan keadilan, berusaha membangun kesejahteraan rakyat sesuai dengan perintah konstitusi, dan melakukan perang total terhadap korupsi. Itu saja yang harus dilakukan jika tugas-tugas pemerintahan ingin agak ringan dan mendapat dukungan rakyat.

Buktinya, setiap ada pengungkapan dan tindakan tegas terhadap koruptor, rakyat serempak mendukungnya dengan menggelegar. Buktinya lagi, setiap pemerintah membuat kebijakan prorakyat alias populis, rakyat gemuruh menyambutnya dengan sukacita.

Bagi umat Islam sendiri, melalui telaah mendalam dan perjuangan panjang yang kemudian menjadi produk ijtihad para ulama NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas lain, NKRI yang berdasar Pancasila sudah final dan harus dipertahankan berapa pun biayanya. Pancasila itu ibarat akta kelahiran bagi Indonesia sehingga tidak bisa diganti selama kita ber-Indonesia.***

Sumber: SINDONEWS