Kamis, 22 Maret 2012

Siapa Ir. Sutami ? Ini Kisah Teladan Ibarat Permata di Balik Lumpur

Pernah gak kalian bayangin mewahnya hidup jadi menteri? Serba glamor & berlimpah materi - Rumah mewah, mobil termahal, hp tercanggih, jas yang halus, sepatu merk luar negeri dan istri yang cantik. Tapi di jaman Soeharto, ada seorang menteri yg sangat sederhana. Itulah almarhum Ir. Sutami, menteri Pekerjaan Umum yg gemar berpuasa dan tirakat, spiritualitasnya tinggi. Beliau Memilih hidup sederhana bukan karena miskin atau tidak mampu untuk membayar fasilitas yang baik.

Program realitas televisi yang hiruk-pikuk dan pemberitaan supersibuk tentang calon, dan kemudian menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, menyeret pembicaraan ramai.
Baik yang bersuka cita karena jagoannya terpilih, atau yang menggerutu dan cemas karena melihat nama-nama dikaitkan dengan jabatan yang tidak pas.
Presiden Yudhoyono sendiri, yang berhak mengangkat menteri-menteri, menyebutkan perbedaan pendapat itu sebagai bagian dari demokrasi.
Tiba-tiba saya ingat menteri yang lain, menteri yang sudah almarhum lama dan harum namanya.
Ir Sutami, Menteri Pekerjaan Umum. Beliau tidak berasal dari partai, dan seorang insinyur, kemudian menjabat dalam bidang yang dikuasai. Dan terus menjabat sebagai menteri yang sama walau kabinetnya bernama Kabinet Dwikora I, II, Kabinet Ampera, atau Kabinet Pembangunan.
Atau bahkan ketika presidennya berbeda. Menteri yang mempimpin departemen dengan anggaran besar—atau sangat besar itu, dikenal sebagai menteri “termiskin di dunia”.
Konon, ia menderita penyakit yang bisa dikategorikan “kurang gizi.” Rumah kediamannya di Solo pernah hampir dicabut aliran listriknya karena tak bisa membayar.
Para wartawan di tahun ‘70-an memunyai keluhan panjang kalau mengikuti beliau meninjau daerah terpecil. Karena kalau perlu, berjalan kaki lebih dari enam jam! Tubuhnya yang kurus basah oleh keringat, senyumnya jarang terlihat.
Tapi tidak selalu tampak serius menakutkan atau angker. Bahkan ketika Proyek Listrik Tenaga Air di Maninjau, Sumatra Barat, yang diperkirakan tak akan bisa dibuat akhirnya berhasil, beliau menggendong pimpro.
Pak Menteri menggendong anak buahnya, sebagai penghargaan, sebagai kekaguman.
“Tukang insinyur” ini ikut pula membidani lahirnya Fakultas Teknik Universitas Indonesia, serta munculnya dan beroperasinya jalan tol yang sekarang dikenal sebagai tol Jagorawi. Kapasitas profesionalnya melampaui keberadaannya sebagai pejabat negara dan dinamika yang dilahirkan.
Seperti munculnya tenaga profesional, dan tetap begitu ketika menjadi badan usaha negara. Kualitas profesionalnya, kerendahan hati dari pribadi, kebersamaan dengan rakyat, seakan menjadikan “menteri ajaib”.
Lebih dari itu, pada masanya, tak ada soal aib, tak ada kasus korupsi yang disangkutkan dengan wewenangnya. Semua berjalan mulus, lurus, tulus.
Pak Tami, demikian sebutan hormatnya, meninggal dalam usia masih muda, 52 tahun, pada tanggal 13 November 1980. Jasa-jasanya, amal baik, menemukan tempatnya di hati rakyat secara luas.
Sedemikian bergemanya hingga bukan hanya bendungan besar yang memakai namanya, melainkan juga waduk-waduk biasa di sepanjang Sungai Brantas dan jalan-jalan yang bukan jalan utama memakai namanya.
Belum terhitung bangunan, atau tempat-tempat tertentu, yang memakai nama beliau secara spontan.
Nama tempat yang berkaitan langsung dengan kebutuhan rakyat seperti air, listrik, jalanan.
Tiba-tiba saya ingat saat seperti ini, dan menunduk hormat. Betapa hebat, tapi juga sebenarnya biasa yang dilakukan sesuai dengan tugasnya, namun melahirkan sesuatu yang luar biasa.
Betapa mencengangkan, tapi sekaligus begitu santun tanpa kata besar seperti mengabdi rakyat, menyejahterakan rakyat, atau menjalankan amanah. Betapa memesona keberadaan beliau sedemikian rupa sehingga rasa-rasanya menteri yang begini adalah makhluk langka.
Di tengah ingar-bingar para menteri, Pak Tami hadir sebagai sosok yang memberi inspirasi, yang mengabdi tanpa memihak kelompok atau komunitas tertentu. Bahkan ketika dipilih dan menjadi pembantu presiden pun, tidak memisahkan dirinya dengan rakyat.
Bahkan kemenangannya memihak rakyat adalah terjemahan langsung sebagai pejabat. Sebagai menteri. Menteri abadi di hati rakyat yang seharusnya bisa diteladani.

Sumber: http://dhi.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=31247 / kaskus